Rabu, 29 Februari 2012

ISLAMISASI ILMU

PENDAHULUAN

A. Definisi Konsep

Islamisasi ilmu pengetahuan bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis. Dari segi teoritis pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan. Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan, tujuan sains modern yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami (terikat nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.

Dari penjalasan di atas Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu mencantumkan Islamnya dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam, metalurgi Islam, kimia Islam dan sebagainya. Selain bid’ah secara syari’at, epistemologinya pun tidak mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu tertentu yang menunjukkan kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam. DR. Imaduddin Khalil bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik Keilmuan Islam.

B. Analisis Masalah
1. Apa Peran Penting Paradigma Ilmu?
2. Bagaimana Sejarah Islamisasi Ilmu?
3. Bagaimana Modelisasi Ilmu?

PEMBAHASAN
ISLAMISASI ILMU
A. Sejarah dan Proses Perkembangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kata “Islamisasi” dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhajnya oleh Allah SWT melalui wahyu. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan dalam pembentukan mental.
Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan yaitu, hubungan antara “Kitab Wahyu” Alquran dan As-Sunnah dengan “Kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Kemudian akan menjadi ijma' (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, Islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan.
Dalam konteks modern, istilah "Islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syekh Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu.
Sesungguhnya, secara substansial proses Islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengIslaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia. PengIslaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu.
Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti Al-Ghazali, Fakhruddin Al-Razi, Sayfuddin Al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu, Islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah Islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun 70-an.
Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari pengaruh sekularisme).
Gagasan Al-Atas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of Knowledge," dalam rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah." Dia mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri.
Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilai-nilai Islam.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses Islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan Islamisasi ilmu suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular.
B. Peran Penting Paradigma Ilmu
Paradigma adalah kumpulan prinsip prinsip dasar yang diakui bersama untuk menyatukan derap langkah pelaksanaan ilmu tersebut dalam praktek.
Dalam Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is blind, and Religion without science is lame,” ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami prinsip-prinsip Al-quran.
Dalam menatap era globalisasi, ada beberapa model Islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi Islam, dan model neo-modernisme.
Purifikasi yaitu pembersihan atau pensucian. Dalam arti, Islamisasi pengetahuan berusaha menyelenggarakan pengkudusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam. Model ini berasumsi bahwa dapat dilihat dari dimensi normatif-teologis. Doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada umatnya untuk memasuki Islam secara khaffah sebagai lawan dari ber-Islam secara parsial.
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunatullah. Sunatullah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam. Sehingga untuk menjadi modern, umat Islam harus memahami lebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam, yang pada gilirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Karena itu, modern berarti ilmiah dan rasional.

Untuk sampai pada pemahaman tersebut diperlukan proses secara bertahap. Jadi, menjadi modern berarti progresif dan dinamis. Dari sini, makna Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh modernisasi Islam adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan terus melakukan perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Model modernisasi Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam dimasa kini, yang disebabkan oleh kepicikan berfikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya. Sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengatahuan agama Islam tertinggal jauh dibelakang non-muslim. Karena itu, model modernisasi Islam ini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial dan perkembangan iptek, serta melakukan liberalisasi penanganan yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.
Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-quran dan sunnah dengan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek. Adapun jargon yang sering dikumandangkan adalah “memelihara kebaikan di masa lalu dan mengambil kebaikan yang baru”.
Dari pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.
Maraknya kajian dan integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini dengan center didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara lain Naquib Al Attas dan Ismail Raji’ Al Faruqi, tidak lepas dari kesadaran berIslam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan iptek. Ia misalnya berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi ilmu sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-9 meskipun mengalami pasang-surut. Pada awal abad ke-19, Ahmad Khan dan Muhammad Abduh (awal abad ke-20) di Mesir, meski sejak awal menyadari bahaya dan ancaman peradaban Barat, tetapi dalam usaha reformasi pendidikan dan pemikiran Islam berupaya memadukan sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan Barat dengan jalan mencangkokan kedua sistem yang mengandung landasan nilai berbeda, sehingga justru menciptakan dikotomi-dikotomi, baik dalam sistem pendidikan Islam maupun pengetahuan.
Dikotomi keilmuan merupakan salah satu penyebab dari kemunduran suatu bangsa, masa ini dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Kondisi ini juga merupakan imbas dari kelesuan bidang politik dan budaya. Umat Islam saat ini cenderung bernostalgia dengan masa kejayaannya di abad pertengahan, sehingga lupa dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
Penyebab lain terjadinya dikotomi keilmuan dikarenakan adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam. Negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Karena itu, buadya barat mendominasi budaya setempat yang telah dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu umum telah menggantikan ilmu-ilmu Islam.
C. Model Islamisasi Ilmu
Bangunan intelektual yang muncul pada peradaban tertentu, biasanya memiliki spektrum yang luas dan tidak bisa dibaca sebagai sesuatu yang tunggal dan serba seragam. Demikian halnya dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an.
Pada tahap perekembangan mutakhirnya, model Islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya. Terlebih pula jika melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari pendekatan dan konsepsi dasar tersebut.
Namun ada beberapa konsep dasar yang menjadi titik persamaan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai sarjana Muslim. Misalnya, jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan: Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Bagi Al-Atas misalnya, Islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya.
Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keIslaman, sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya, menurut Al-Attas, sukses tidaknya pengembangan Islamisasi ilmu tergantung pada posisi manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi).
Al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi inteletual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan (inter-related characteristics). Kelima prinsip itu adalah:


1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
2. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
3. Membenarkan aspek temporal untuk yang memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
4. Pembelaan terhadap doktrin humanisme.
5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spritual, atau transedental, atau kehiudpan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama atau tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia.
Sementara menurut Ismail Al Faruqi, model Islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya.
Dalam deskripsi yang lebih jelas, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini, maka setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.

Kemudian Al Faruqi menggagaskan sebuah rencana kerja dengan lima langkah:
1. Penguasaan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern.
2. Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam.
3. Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu pengetahuan modern.
4. Mencari sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
5. Memberikan arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan kehendak Ilahiyah. Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna mempercepat Islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual.
Di samping beberapa kesamaan pola dasar Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana dapat dilihat dari paparan di atas, agaknya ada segaris perbedaan di antara Al-Attas dan Al-Faruqi. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda.
Sementara Al-Attas disamping pengaruh sufisme yang cukup kuat, antara lain dengan gagasan digunakannya takwil dalam kerangka Islamisasi ilmu pengetahuannya lebih menekankan pada dikedepankannya keaslian (originality) yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan Al-Attas, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan barat modern, diyakini dengan merujuk pada khazanahnya sendiri umat Islam akan mampu menciptakan kebangkitan peradaban.

PENUTUP
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada intinya bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam.
Di samping itu, Islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat secular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu diteruskan oleh umat Islam kontemporer dari generasi ke generasi, guna menjawab krisis epistimologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tetapi juga budaya dan peradaban Barat. UIN Malang merupakan salah satu universitas yang bertanggung jawab dalam mensukseskan mega proyek ini, agar cita-cita Islam sebagai rahmatan lil'alamin dapat benar-benar tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
• http://www.acehinstitute.org/opini_husni_islamisasi_ilmu_kontemporer.htm
• http://nasirsalo.blogspot.com/2008/04/tentang-islamisasi-ilmu-pengetahuan.html
• http://ululalbab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4:islamisasi-ilmu-sejarah-dasar-pola-dan-strategi&catid=2:materi-kuliah&Itemid=18
• http://indramunawar.blogspot.com/2009/03/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html