Sabtu, 10 Maret 2012

Epistimologi Ilmu

PENDAHULUAN

Asas-asas filsafat merupakan suatu kajian yang mengentengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat. Dalam hal ini dikaji beberapa bidang utama filsafat seperti, metafisika, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga bidang ini dapat dipandang sebagai pilar utama suatu bangunan filsafat jika kita ingin memahami visi filsafat seseorang atau suatu aliran.

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi), pengetahuan tesebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu berkaitan dengan aksiologi dan seterusnya.
Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan menegnai dunian empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka pertama-tama kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu bisa terjadi. Mengapa terjadi tanah longsor? Mengapa anak-anak muda menjadi gelisah pada masa Sturmund Drang? Mengapa terjadi kekurangan makan di daerah lahan yang gersang? Untuk bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu, maka kita harus mengusai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Dengan demikian, maka penelahaan ilmiah diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Penjelasan yang diarahkan dalam metode ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanis terjadinya gejala itu. Contonhnya kegiatan ilmiah ngin mengetahui mengapa secangkir kopi yang diberi gula bisa manis rasanya. Hubungan antara gula dan kopi yang menyebabkan rasa manis itulah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Epistemologi

Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan (knowledge). Sedangkan Logos berarti teori. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Lacey mengatakan bahwa epistemologi membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,” Sedangkan Qodri Azizy mengatakan epistimologi sebagai filsafat ilmu, dan cenderung berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme berarti knowledge atau science, sedangkan Logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know.
Dengan demikian epistemologi atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, peranggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.

Pembicaran tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemologi tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.

Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.

Perbedaan tersebut muncul akibat sudut pandang yang berbeda, metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Dari kedua metode tersebut yang lebih dipercaya tergantung pada jenis dan sifat obyek studi. Sebagai contoh, penganut empirisme lebih cenderung kepada teori korespondensi tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik dengan teori koherensi. Dari pernyataan tersebut, dapat diambil pemikiran bahwa kedua aliran tersebut membicarakan tentang hakekat kebenaran, karena pada dasarnya semua pengetahuan membahas dan mempersoalkan kebenaran.

Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa, pada hakekatnya epistemeologi adalah ilmu yang berusaha membahas tentang pengetahuan, yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Dari pendapat Amsal Bakhtiar tersebut, jelaslah makna epistemologi itu sendiri, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mencari metode untuk mendapatkan pengetahuan.

Mendapatkan pengetahuan berarti berhubungan dengan mengetahui, menurut Amsal Bakhtiar mengetahui sesuatu pada dasarnya adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek dalam akal tentang sesuatu yang berada di luar akal. Pendapat Amsal Bakhtiar merupakan duplikasi dari pendapat Aristoteles yang juga berpendapat seperti itu. Amsal menyatakan bahwa penyusunan dalam akal bisa jadi sama dengan fakta di luar akal dan bisa saja berbeda dengan yang diluar akal. Dengan kata lain, apakah gambaran dalam akal akan sama dengan realitas di luar akal. Hal ini akan merujuk kepada hakekat kebenaran.

Adapun objek material dari epistemologi itu sendiri adalah pengetahuan. Setiap filosof menawarkan aturan yang tepat, cermat, dan terbatas untuk menguji berbagai tuntutan lain yang menjadikankit dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap perangkat aturan harus benar-benar mapan. Sebab definisi tentang “kepercayaan,” dan “kebenaran” merupakan masalah yang tetap dan terus menerus ada, sehingga teori pengetauan tetap merupakan suatu bidang utama di dalam penyelidikan filsafat.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistemlogi berkisar kepada masalah asal usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan denagn keniscayaan, hubungan antara pengetahuan denagn kebenaran, kemungkinan skeptisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konteptualisasi baru mengenai dunia.

Semua persoalan tersebut di atas terkait dengan persoalan-persoalan penting filsafat lainnya seperti: kodrat kebenaran, kodrat pengalaman dan makna. Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dengan pikiran merupakan sesuatu yang kodrati.

B. Objek dan Tujuan Epistemologi

Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.

Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.

Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 = 6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal.
Namun, siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar bagaimana prosesnya, dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lainnya.

Proses menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadap pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam gudang terdapat bermacam-macam barnag, tetapi dia tetap hanya apriori semata, karena tidak pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan segera dibuka, kemudian diperiksa satu persatu barang-barang yang ada didalamnya. Dengan demikian, seseorang tidak sekedar mengetahuai sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian melalui proses itu.

C. Prosedur dalam Mendapatkan Pengetahuan

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.

Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya.
Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.

Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.

D. Landasan Epistemologi

Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah.

Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan. Begitu pentingnya fungsi metode ilmiah dalam sains, sehingga banyak pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode. Yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu.
Disini perlu dibedakan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu).
Pengetahuan adalah pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya; sistematis, objektif, logis dan empiris.

Dengan istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (Scientific Knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.

E. Kebenaran Pengetahuan

Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli estimologi dan para ahli filsafat, pada umumnya, untuk dapat membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan.
Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera akan berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal atau rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat tidak dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh faham skeptisme yang ekstrim di bawah pengaruh Pyrrho.
Menurut Suparlan Supartono teori kebenaran epistemologi dapat dibagi menjadi tiga yaitu,

A. Teori koherensi teori dibangun berdasarakan hakikat pribadi rasional ilmu pengetahuan, karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruang lingkup bertarafabstrak ideal. Ukuran kebenaran diukur berdasarkan tingkat rasional,sejauh dapat diterima oleh akal.
B. Teori koresponden, teori ini dibangun berdasarkan hakikatempirik ilmu pengetahuan. Karena itu, kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruanag lingkup bertaraf konkret realistik. Ukuran kebenaran ditentukan dengan tingkat empirik, sejauh dapat dialami di dalam realita konkret, artinya kebenaran ada jika ada kesesuaian antara idea dengan pengalaman konkret.
C. Teori pragmatik, teori ini dibangun berdasarkan hakikat rasional maupun empirik ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkupcdialektis rasional danempirik, akibatnya ukuran kebenaran bersatandardua dengan menekankan pada nilai kegunaan dan dapat dikerjakan/parktis.

Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu Haq Al-Yaqin, ‘Ain Al-Yaqin, dan ‘Ilm Al-Yaqin.
Adapun kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran wahyuKebenaran spekulatif filsafat
2. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
3. Kebenaran pengetahuan biasa.

Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.

Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang.

F. Epistemologi Kritis

Latar belakang timbulnya teori kritis dalam konstelasi teoritis yaitu dimulai sejak awal zaman modern ketika munculnya ilmu pengetahuan dan munculnya teori kritis ini. Kalau kita perhatikan apa yang mendasari ilmu-ilmu sosial di Eropa, itu tak lain dari pada suatu sikap. Pertama optimistis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, sebuah sikap romantis, dalam arti kritis terhadap perkembangan ilmu alam itu sendiri. Sikap yang pertama ini berkembang sampai pada puncaknya pada abad 18, yaitu zaman pencerahan.

Pencerahan di tiga wilayah tersebut adalah, Jerman, Prancis dan Inggris yang mempunyai satu kesamaan dan perbedaan, yaitu melawan metafisika. Termasuk di dalam metafisika, tahayul-tahayul, mitos-mitos, agama dan segala macam bentuk abstraksi yang tidak mempunyai dasar empiris. Perbedaannya kalau di Prancis amat didasari oleh John Locke yang sangat empiristis, begitu juga di Inggris, namun ia sebenarnya mengembangkan pencerahannya sendiri yakni pengembangan tentang mekanisme.

Maka, di Inggris lebih mengacu pada paham deisme. Suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta ini, dia menganggur, membiarkan dunia bergerak menurut mekanismenya sendiri. Sedangkan di Jerman, motif pencerahan juga berbeda, ide yang tak pernah hilang dari filsafat Jerman adalah ide mentalitas. Oleh karena itu, menjadi mentalitas yang merasuki filsafat dan juga sastra di Jerman adalah bagaimana mengintegrasikan segala sesuatu. Dalam hal ini juga, ilmu, mitos, iman dan seterusnya. Bagaimana itu menjadi bangunan yang koheren dan utuh. Oleh karena itu, pencerahan di Jerman tidak mencabik-cabik agama, melainkan memberikan pendasaran yang kokoh, rasional tentang apa itu agama.

Adapun menang dari pencerahan itu sendiri adalah, tendensi-tendensi yang kuat empiristis. Yang dimaksud menang itu adalah yang dominan. Dan malah juga cenderung nihilistis. Hal ini seperti yang ditampilkan oleh Nietzshe misalnya yang lahir pada abad ke-19 dan merupakan titik kulminasi dari abad modern itu sendiri. Dimana kalau orang mau konsekuan untuk menaklukan alam baik alam eksternal yaitu alam material yang kita lihat ini, maupun alam internal yaitu alam psikis manusia, bagian dalam dari diri manusia, pikirannya, instingnya, sikap batinnya, kepercayaannya, semua mau ditolakkan menurut mekanisme.

Maka kalau itu semua bisa diketahui secara mekanistis, objektif, maka nilai pun diusir keluar. Karena nilai itu tidak obyektif, ia masuk dalam lingkup kebebasan manusia, seperti menafsirkan. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tendensi nihilistis boleh dikatakan jadi muara dari aufklarung.

Karl Marx, salah seorang filosof yang cukup kritis terhadap aufklarung. Ia hidup pada abad ke 19 tetapi ia juga berdiri pada tradisi aufklarung. Ia melihat aufklarung itu terlalu memusatkan perhatiannya pada pencerahan individu yang universalistis tentu saja. Pengetahuan yang universal itu diraih secara individual. Dan apa yang secara invidual diraih secara mendalam itu merupakan sesuatu yang universal yang juga dipikirkan oleh individu-individu yang lain.

Lalu apa yang dilakukan oleh Marx, yang dilakukan oleh Marx adalah sebagai anak zaman pencerahan juga yang kritis tentu saja. Ia ingin melakukan pencerahan jilid kedua. Yaitu memperlihatkan bahwa ada wilayah-wilayah kehidupan yang bisa dicerahkan bukan alam misalnya saja seperti yang dilakukan oleh kaum borjuasi. Seperti Kant misalnya, atau banyak juga orang borjuasi pada masa itu bahkan memandang manusia oleh Hobbes. Memandang manusia secara alamiah dengan segala kepentingannya.
Menurut Marx, wilayah lain yang harus dicerahkan adalah hubungan-hubungan sosial. Dan hubungan sosial ini tidak melulu bersifat alamiah. Itu terdapat di dalam Marx muda. Terjadi kemerosotan tentu saja setelah Marx mejadi matang. Dia condong tidak filosofis lagi, melainkan menjadi sangat ilmiah dan positivistis. Dia ingin menjelaskan proses hubungan antar manusia itu, sebagai proses-proses yang bisa dirumuskan menurut hukum-hukum alam.

Maka dari itu, mekanisme-mekanisme sosial yang bersifat struktural itu bekerja seperti pada misalnya biologi dan ilmu-ilmu alam lainnya bisa ditekan dan diprediksi. Katakanlah sebuah revolusi dapat diprediksi dengan ketepatan matematis. Kita dapat menganalisa tingkat kematangan kontradiksi pada basis ekonomi yang akan memuncak seperti air yang akan mendidih ada 100 derajat celcius dan kemudian akan menguap. Maka niscaya jika suhu itu dicapai akan mencapai pula titik orgastiknya. Nah, seperti gerhana matahari yang bisa diramalkan oleh Tales misalnya. Persis terjadi sesuai dengan ramalan.

Karl Marx yang semula humanis yang melihat manusia tidak sepenuhnya dapat dirumuskan, terakhir menjadi seorang ilmuan yang percaya akurasi dan objetivisme di dalam ilmunya. Dan akibatnya juga, ilmu yang disebut ilmu ekonomi politik dan marxisme ortodoks yang dianut oleh penganut-penganutnya itu tidak menghasilkan perubahan sosial karena pretensi hanya merumuskan hukum-hukum sosial.

Kemudian teori kritis masuk kedalamnya, sebetulnya hal yang tidak jauh berbeda. Sebetulnya membalikkan epiatemologi marxis yang mengatakan bahwa basis menentukan suprastruktur. Marxisme kritis termasuk di dalamnya teori keritis itu memperlihatkan bahwa determinisme seperti jelas tidak memadai untuk mesyarakat. Yang terjadi pada masyarakat adalah korelasi antara basis dan suprastruktur, bahkan kadangkala peranan suprastruktur juga amat besar dalam memberi format pada basis, basis ekonomi.
Adorno, Khorkheimer, Marcuse adalah tokoh-tokohnya. Masing-masing memiliki minat yang berbeda-beda tapi semua dilihat dalam satu kesatuan minat, tidak lain dari pada ingin membangun sebuah teori dengan maksud praktis. Lantas apa yang dimaksud dengan praksis. Selama ini, bahkan di dalam marxisme sendiri seperti yang ada di dalam Das Kapital, teori itu mau menjadi demi teori itu sendiri. Jadi teori untuk teori. Atau praksis tanpa teori, tetapi diam-diam ada ideologi di dalamnya. Itu tidak dikehendaki. Kalau mau mengubah masyarakat, kita harus menemukan sebuah konstruksi teoritis tertentu. Sungguh-sungguh ilmiah dalam arti mereka bukan ilmiah dalam arti posotivisme. Sedemikian rupa sehingga kalau seseorang memandang teori tersebut dengan analisis-analisisnya sehingga mencapai suatu insight kepada masyarakat, inilah yang disebut proyek teori kritis

Kemudian munculah Jurgen Habermas yang bertolak dari kemacetan teori kritis itu sendiri dengan dialektika pencerahan bahwa ternyata pencerahan itu adalah mitos. Menurut Habermas tidak seperti itu. pencerahan harus jalan terus. Masalahnya pada teori kritis yang lama, mereka juga terobsesi dengan paradigma positivistis. Yaitu bahwa rasio itu adalah penaklukan atas alam maka sebetulnya apa yang disebut ktitik oleh mazhab Frankfurt yang lama itu bahwa kritik itu sebetulnya adalah penaklukan atas yang dikritik tentu saja. Seperti di manakah tempat kritikus sosial dalam suatu masyarakat. kalau menurut Adorno dan Khorkheimer, dia adalah pemegang kebenaran karena dia adalah yang paling tahu. Inilah jalan yang benar. Kalau menurut Adorno, teruslah berpikir dialektis, negasi secara terbuka terus menerus. Dan itu namanya kritis. Apakah semua orang mau berpikir seperti itu belum tentu.

Orang-orang ini berpikir bahwa seorang kritikus adalah seorang pemegang kebenaran. Itukan mewarisi kesalahan orang yang dikritik juga yakni melakukan dominasi. Habermas menunjukkan bahwa bukan hanya persoalan moralitas melainkan juga kedudukan kritikus itu. Haruslah ditemukan sebuah ilmu kritis menurut dia, kritikusnya tidak lebih penting dari pada yang dikritik. Dia berada dalam kedudukan yang sama dengan orang-orang yang dikritik. Jadi bagaimana mewujudkan kesamaan. Jadi semacan demokrasi.

Ini adalah prioritas bagi seorang terapeut atau kritikus-kritikus. Maka menurut Habermas ini tidaklah konsekuen. Dalam buku pertamanya, Habermas masih cukup demokratis namun dalam buku keduanya kok dia masuk kesini. Ia terpukau oleh para pendahulunya. Nah setelah ini ia masuk dalam analisa bahasa, teori ekonomi dan juga hukum. Maka dari situ dia berada di jalan yang cukup simpatik. Disitu dia mengintegrasikan dari cara berpikir. Mungkin saja di dalam masyarakat ada yang disebut sakit. Tapi boleh ko berkomunikasi asal mau berkomunikasi. Kaum fundamentalis di dalam masyarakat dengan mengatakan bahwa inilah yang paling benar.
Jadi teori kritis tadi memberi tahu kita, bahwa teori kritis itu sangat kompleks. Tetapi supaya kita tidak dipusingkan oleh hal itu. Ada tiga kasus di sini, kasus pertama sangat terkenal yakni kasus Pavlov dengan anjingnya yang dibuat lapar kemudian dimasukan di dalam kotak., dipancing dengan makanan maka keluar air liur dari mulutnya dan dimediasi dengan lonceng dan ini dilakukan beberapa kali sehingga satu waktu lonceng dibunyikan tanpa makanan dan air liur tetap keluar.
Lalu apakah sebuah riset harus dengan kepentingan atau membiarkan diri diseret dengan kepentingan-kepentingan, tentu saja tidak. Disinilah teori kritis berhubungan. Epistemologi klasik tradisional, yang disebut tradisional adalah positivisme, itu adalah pengetahuan yang dipeoleh secara kontemplatif, memandang, memotret kenyataan maka teori kebenaran yang ada di dalamnya adalah teori kebenaran sebagai korespondensi bahkan juga sebagai koherensi. Sedangkan teori kritis mempunyai epistemologi yang lain. Dia mengatakan kita tidak bisa mengetahui sesuatu kalau tidak menyadari kepentingan kita.


BAB IV

PENUTUP

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi), pengetahuan tesebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu berkaitan dengan aksiologi dan seterusnya.
Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan menegnai dunian empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Dari uraian tersebut dapat di simpulkan bahwa epistemologi pada hakekatnya adalah membahas tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Selain itu, Epistemologi bias disebut pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA

 Editoni, Agus. 2009. Epistemologi (sejarah, ruang lingkup, dan pengertian, (Online) (http://fostimpala.heavenforum.com/kajian-aktual-f16/epistemologi-sejarahruang-lingkupdan-pengertian-t22.htm, diakses 09 April 2010)
 Maulidiansyah, Roli. 2009. Epistemologi Teori Kritis, (Online) http://www.blogger.com/profile/03249547895308622683noreply@blogger.com, diakses 09 April 2010)
 Mubasyir Rizal, Misnal Munir. 2008. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
 Muslih, Muhammad. 2008. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Belukar.
 Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT. Pancaraninta Indah Graha.

School of Linguistics

1. The definition and distinction between Langue and Parole.

Definition: Langue is the whole system of language that precedes and makes speech possible. A sign is a basic unit of langue.
Parole is the concrete use of the language, the actual utterances. It is an external manifestation of langue. It is the usage of the system, but not the system.
Distinction: According to Saussure, the distinction between Lengue and Parole are Parole is the realm of the individual moments of language use, of particular 'utterances' or 'messages,' whether spoken or written, langue is the system or code which allows the realization of the individual m essages."

2. The definition and distinction between Competence and Performance.

Definition: Competence is the standard of the knowledge, skills, attitudes and judgement to practise within the scope to a standard acceptable to reasonable peers and to the community.
Performance is a practice of practising to a standard acceptable to reasonable peers and to the community.
Distinction: The distinctions between both of them are a 'competence,' is an idealized capacity, while performance is the production of actual utterances,

3. Based on the Chomsky’s statement, he describes that 'competence' as an idealized capacity that is located as a psychological or mental property or function and ‘performance’ as the production of actual utterances. In short, competence involves “knowing” the language and performance involves “doing” something with the language. The difficulty with this construct is that it is very difficult to assess competence without assessing performance.

Only Hope Partner to be the First Winner




Ika Ayu Prispita Sari is the only one student from State Islamic University Maulana Malik Ibrahim Malang who has been successful achieved a champion in the event of language ambassador for East Java in 2011 ago.

Furnishing the best for the faculty was the major purpose of the candidate's language ambassadors of UIN Maliki Malang. This was what they think during their way to go to the competition which was attended by 48 couples.

The candidates consisting of four people had succeeded to follow the selection carried out by the Faculty of Humanities and Culture of the previous month. Four of them had succeeded to beat 50 other students. The selection (13/8), chaired by one of the lecturer of Humanities and Culture faculty, Mr. Miftahul Huda, M. Hum was comprised of several tests, especially about the culture and Indonesian languages. It was because according to the teacher of speaking, the main material for the language ambassadors at that time was about Indonesian culture and its language.

Once they were accepted as the candidates of language ambassador from the faculty of language Humanities and Culture, the four of them consisting of two males and two females, each of which was Irham (7th semester), Ika Prispitasari Ayu (7th semester), Fendi Yugo Sarjono (5th semester), and Annadifatul Churry Illiyin (5th semester) made preparations to confront language ambassador selection held in the Hall of Languages Surabaya (14/9).

One month passed, after they thought it was enough for practice, on the early morning at 06.30 am, they went from the campus of UIN Maliki Malang and finally arrived at 08.30 am. In the City of Hero, the candidate that consisted of two pairs, Ana with Yugo, Irham with Ika immediately followed the test provided by the committee. The first test was UKBI (Ujian Kemampuan Bahasa Indonesia). The written tests that were held at 09.30 am were like TOEFL. However, the difference was this test simply used Indonesia language.

"We thought the written test given was in English and Indonesian culture, but all the tests were presented turned out to be Indonesia language and also the culture," Ika said when met during the interview.

Finally, the test ended at 14.00 pm was announced by the committee. The result, a girl who has a hobby of jogging was entitled to get a chance to continue to the next round by beating 14 other pairs of candidates. "Actually I hoped the juniors can be the finalist. However, Alhamdulillah, there was still representative of our campus," said the student from English Department.

For the second stage test was interview. Ten couples who have successfully qualified to face the three judges who would test them. The first jury has tested the knowledge of Indonesian language. Furthermore, for next judge provided the exam of insight on Indonesian language, then the last jury tested the foreign language skills of the participants. In this case, the student was born in 21st of March 1987 chose English as her language. "At the time of testing, we were not asked about 5W +1 H, but here we had to talk about Indonesian language, then the jury directly assessed by analyzing EYD (Spelling Enhanced)," said the student born in Batu, Malang.

A long time passed, the clock was showing at 17.00 pm, ten pairs of participants who have been through the interview had been preparing for the final test, that was presenting their knowledge about Indonesian language. Each participant had to pick up a shuffle paper then presented it in front of the jury. Ika who was in the fifth rank hoped to be a champion because she did not want to disappoint her institution which had believed in him. "If my God chose me to be a champion, I did not want to be the first winner, but I prefer to be the runner up," said the student who become a tutor at the British International, Malang

Loosing to the time had showed at 20.00 pm and all candidates had completed their final test. Five minutes later, the committee was preparing to announce the winners. As a result, this merry-faced girl was surprised when her name was mentioned as the runner up. Ika succeeded to be the runner-up in pairs with students from the University of Malang (UM), while the winner was won by students from UM and UNEJ.. "Alhamdulillah, my God gave the best thing for me, might be a runner up was a gift for me, because I did not expect to be the first," she recalled.

The reason why the 24-year-old girl did not want to be the first winner was because the winner would be quarantined for two weeks in Jakarta for the preparation of national language ambassadors. "I had been in the last semester and had to prepare for my final examination. However, despite being a runner-up, I also had to be ready when they need me," Ika said.

Ika’s win achieved her success did not escape from the support of the people around him, she admitted that a lot of people who support her when she was elected as the candidates of language ambassador in East Java. "In addition the support was from my friends, and my parents also prayed for my success," she said.

According to Ika, being a language ambassador would be nothing if not followed by other students. As a good example, Ika had a great hope that her achieved can be forwarded by the juniors. "I dedicate this success to my parents who are always with me, for my faculty, as well as to all my friends," said the student who likes to teach. (rif)

DEIXIS

Reflection from Pragmatics (George Yule)

Deixis is a technical terms for one of the most basic things we do with utterances or pointing via language, it is clearly a form of referring that is tied to the speakers’ context. A language form used to accomplish it is called deictic expression or indexicals. There are many kinds of deixis, first is person deixis, to indicate people, spatial deixis for location, and temporal deixis for time.
a. Person deixis
Person deixis clearly operates on a basic three parts division, exemplified by the pronouns for first person (I), second person (you), an third person (she, he, it). These kinds of expressions are in every language in the world; furthermore they also become a mark of relative social status. For example when the addressee with the higher status talks to the addressee with the lower status, she or he will use language with the relative social status. This kind of expression is usually called honorific. For the discussions which talk about this circumstances is called as social deixis.
b. Spatial deixis
On the explanation in spatial deixis, contemporary English makes use of only two adverbs for the basic distinction; they are near speaker and away from speaker. In English, the near speaker or proximal terms is typically interpreted in terms of speakers’ location, for example ‘here’. For the away from speaker or distal terms can simply indicate ‘away from speaker,’ for example ‘there.’ Besides, some verbs of motion, such us ‘come’ and ‘go’ retain a deitic sense when they are used to mark movement toward the speaker (Come to bed!) or away from the speaker (Go to bed!).
c. Temporal deixis
As same as spatial deixis, temporal deixis also has two distinctions, the first is proximal terms or deictic center which is generally understood as referring to same point or period in time that has the time of the speakers’ utterance at its center., for the example is ‘now’. For the next is distal terms which can be used to distinguish between near addressee and away from both speaker and addressee, for example is ‘then’. Besides, both of them also have differences in the time signal. The proximal form ‘now’ as indicating both the time coinciding with the speakers’ utterance and the time of the speakers’ voice being heard. In contrast, the distal expression ‘then’ applies to both past and future time relative to the speakers’ present time.
d. Deixis and Grmmar
The relation between deixis and grammar can all be seen at work in one of the most common structural distinctions made in English grammar, that is between direct and indirect speech. As already described, the deictic expressions for person (you), place (here), and time (now) can all be interpreted within the sam context as the speaker who utters.
Rabu, 29 Februari 2012

Sociolinguistics

1. Based on Ronald Wardhaugh’s book, there are four varieties of possible relationship between language and society. They are,
a. Social structure may either influence or determine linguistic structure and/or behavior.
b. Linguistic structure and/or behavior may either influence or determine social structure
c. Language and society may influence each other (bi-directional)
d. There is no relationship at all between linguistic structure and social structure and that each is independent of the other.

2. A word ‘Rambut’ in Madura is commonly different from the standard in Indonesia language or another place.

3. Comparison the word ‘Rambut’
Wikipedia & KBBI: the word ‘Rambut’ can be used for everyone.
E.g. - bapak ingin mencukur rambutnya
- adikku mempunyai rambut panjang
In this expression, the word ‘Rambut’ is commonly used for every body. The use of ‘Rambut’ is used for everybody.

Madura: the word ‘Rambut’ is only used for the older person not for the younger person
E.g. - eppa’ terro nyokorrah rambut deh (rambut = rambut)
- tang ale’ andhi’ obu’ begus. (obu’ = rambut)
In this expression, the word ‘Rambut’ is commonly used for the person who is older than us or someone that we respect. At the same time as obu’ is commonly used for person who is younger than us.

4. The definition of Sociolinguistics from four authors
a. Gumperz, 1971. Sociolinguistics is an attempt to find correlations between social structure and linguistic structure and to observe any changes that occur.
b. Hudson, 1980. Sociolinguistics is the study of language in relation to society and it will study society in order to find out as much as we can about what kind of thing language is.
c. Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, 2010. Sociolinguistics (often called a functional linguistics, and a cross disciplinary study) of which terms was first coined in 1950’s to try to bring together the perspectives of linguists and sociologists to bear on issues concerning the place of language in society, and to address the social contexts of linguistic diversity.
d. Spolsky, 1998. Sociolinguistics is the field that studies the relationship between language and society, between the uses of language and the social structures in which the users of language live. It is the field of study that assumes that human society is made up of many related patters and behaviours, some of which are linguistics.

ISLAMISASI ILMU

PENDAHULUAN

A. Definisi Konsep

Islamisasi ilmu pengetahuan bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis. Dari segi teoritis pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan. Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan, tujuan sains modern yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami (terikat nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.

Dari penjalasan di atas Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu mencantumkan Islamnya dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam, metalurgi Islam, kimia Islam dan sebagainya. Selain bid’ah secara syari’at, epistemologinya pun tidak mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu tertentu yang menunjukkan kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam. DR. Imaduddin Khalil bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik Keilmuan Islam.

B. Analisis Masalah
1. Apa Peran Penting Paradigma Ilmu?
2. Bagaimana Sejarah Islamisasi Ilmu?
3. Bagaimana Modelisasi Ilmu?

PEMBAHASAN
ISLAMISASI ILMU
A. Sejarah dan Proses Perkembangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kata “Islamisasi” dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhajnya oleh Allah SWT melalui wahyu. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan dalam pembentukan mental.
Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan yaitu, hubungan antara “Kitab Wahyu” Alquran dan As-Sunnah dengan “Kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Kemudian akan menjadi ijma' (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, Islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan.
Dalam konteks modern, istilah "Islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syekh Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu.
Sesungguhnya, secara substansial proses Islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengIslaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia. PengIslaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu.
Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti Al-Ghazali, Fakhruddin Al-Razi, Sayfuddin Al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu, Islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah Islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun 70-an.
Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari pengaruh sekularisme).
Gagasan Al-Atas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of Knowledge," dalam rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah." Dia mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri.
Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilai-nilai Islam.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses Islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan Islamisasi ilmu suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular.
B. Peran Penting Paradigma Ilmu
Paradigma adalah kumpulan prinsip prinsip dasar yang diakui bersama untuk menyatukan derap langkah pelaksanaan ilmu tersebut dalam praktek.
Dalam Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is blind, and Religion without science is lame,” ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami prinsip-prinsip Al-quran.
Dalam menatap era globalisasi, ada beberapa model Islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi Islam, dan model neo-modernisme.
Purifikasi yaitu pembersihan atau pensucian. Dalam arti, Islamisasi pengetahuan berusaha menyelenggarakan pengkudusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam. Model ini berasumsi bahwa dapat dilihat dari dimensi normatif-teologis. Doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada umatnya untuk memasuki Islam secara khaffah sebagai lawan dari ber-Islam secara parsial.
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunatullah. Sunatullah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam. Sehingga untuk menjadi modern, umat Islam harus memahami lebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam, yang pada gilirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Karena itu, modern berarti ilmiah dan rasional.

Untuk sampai pada pemahaman tersebut diperlukan proses secara bertahap. Jadi, menjadi modern berarti progresif dan dinamis. Dari sini, makna Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh modernisasi Islam adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan terus melakukan perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Model modernisasi Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam dimasa kini, yang disebabkan oleh kepicikan berfikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya. Sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengatahuan agama Islam tertinggal jauh dibelakang non-muslim. Karena itu, model modernisasi Islam ini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial dan perkembangan iptek, serta melakukan liberalisasi penanganan yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.
Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-quran dan sunnah dengan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek. Adapun jargon yang sering dikumandangkan adalah “memelihara kebaikan di masa lalu dan mengambil kebaikan yang baru”.
Dari pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.
Maraknya kajian dan integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini dengan center didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara lain Naquib Al Attas dan Ismail Raji’ Al Faruqi, tidak lepas dari kesadaran berIslam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan iptek. Ia misalnya berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi ilmu sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-9 meskipun mengalami pasang-surut. Pada awal abad ke-19, Ahmad Khan dan Muhammad Abduh (awal abad ke-20) di Mesir, meski sejak awal menyadari bahaya dan ancaman peradaban Barat, tetapi dalam usaha reformasi pendidikan dan pemikiran Islam berupaya memadukan sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan Barat dengan jalan mencangkokan kedua sistem yang mengandung landasan nilai berbeda, sehingga justru menciptakan dikotomi-dikotomi, baik dalam sistem pendidikan Islam maupun pengetahuan.
Dikotomi keilmuan merupakan salah satu penyebab dari kemunduran suatu bangsa, masa ini dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Kondisi ini juga merupakan imbas dari kelesuan bidang politik dan budaya. Umat Islam saat ini cenderung bernostalgia dengan masa kejayaannya di abad pertengahan, sehingga lupa dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
Penyebab lain terjadinya dikotomi keilmuan dikarenakan adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam. Negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Karena itu, buadya barat mendominasi budaya setempat yang telah dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu umum telah menggantikan ilmu-ilmu Islam.
C. Model Islamisasi Ilmu
Bangunan intelektual yang muncul pada peradaban tertentu, biasanya memiliki spektrum yang luas dan tidak bisa dibaca sebagai sesuatu yang tunggal dan serba seragam. Demikian halnya dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an.
Pada tahap perekembangan mutakhirnya, model Islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya. Terlebih pula jika melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari pendekatan dan konsepsi dasar tersebut.
Namun ada beberapa konsep dasar yang menjadi titik persamaan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai sarjana Muslim. Misalnya, jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan: Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Bagi Al-Atas misalnya, Islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya.
Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keIslaman, sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya, menurut Al-Attas, sukses tidaknya pengembangan Islamisasi ilmu tergantung pada posisi manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi).
Al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi inteletual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan (inter-related characteristics). Kelima prinsip itu adalah:


1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
2. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
3. Membenarkan aspek temporal untuk yang memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
4. Pembelaan terhadap doktrin humanisme.
5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spritual, atau transedental, atau kehiudpan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama atau tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia.
Sementara menurut Ismail Al Faruqi, model Islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya.
Dalam deskripsi yang lebih jelas, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini, maka setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.

Kemudian Al Faruqi menggagaskan sebuah rencana kerja dengan lima langkah:
1. Penguasaan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern.
2. Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam.
3. Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu pengetahuan modern.
4. Mencari sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
5. Memberikan arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan kehendak Ilahiyah. Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna mempercepat Islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual.
Di samping beberapa kesamaan pola dasar Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana dapat dilihat dari paparan di atas, agaknya ada segaris perbedaan di antara Al-Attas dan Al-Faruqi. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda.
Sementara Al-Attas disamping pengaruh sufisme yang cukup kuat, antara lain dengan gagasan digunakannya takwil dalam kerangka Islamisasi ilmu pengetahuannya lebih menekankan pada dikedepankannya keaslian (originality) yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan Al-Attas, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan barat modern, diyakini dengan merujuk pada khazanahnya sendiri umat Islam akan mampu menciptakan kebangkitan peradaban.

PENUTUP
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada intinya bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam.
Di samping itu, Islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat secular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu diteruskan oleh umat Islam kontemporer dari generasi ke generasi, guna menjawab krisis epistimologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tetapi juga budaya dan peradaban Barat. UIN Malang merupakan salah satu universitas yang bertanggung jawab dalam mensukseskan mega proyek ini, agar cita-cita Islam sebagai rahmatan lil'alamin dapat benar-benar tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
• http://www.acehinstitute.org/opini_husni_islamisasi_ilmu_kontemporer.htm
• http://nasirsalo.blogspot.com/2008/04/tentang-islamisasi-ilmu-pengetahuan.html
• http://ululalbab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4:islamisasi-ilmu-sejarah-dasar-pola-dan-strategi&catid=2:materi-kuliah&Itemid=18
• http://indramunawar.blogspot.com/2009/03/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html

TRANSFORMASI SOSIAL

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan sebesar apapun perubahan itu direncanakan, atau yang datangnya secara tiba-tiba, perubahan itu tetap mengarah kepada dua hal, yaitu kemajuan dan sekaligus kemunduran. Maju-mundurnya sebuah masyarakat menunjukkan bahwa perubahan memang tak pernah berhenti.
Sementara itu, transformasi sosial menghendaki perubahan yang terjadi di masyarakat dan selalu mengarah kepada kemajuan. Masyarakat kemudian menyadari bahwa waktu tidak bisa diputar sehingga tidak akan berulang kembali. Kemajuan ini juga mensyaratkan masyarakat mampu untuk selalu menyesuaikan kembali keadaan jika perubahan yang dilakukan mengalami krisis yang serius.
B. Rumusan Masalah
a. Definisi Konsep
Tranformasi Sosial menjadi pendekatan penataan ruang yang baru di era reformasi dan otonomi luas saat ini. Dalam pendekatan tersebut, terjadi pergeseran pola pikir pendekatan penataan ruang. Semula masyarakat dipandang sebagai obyek peraturan dan homogen, diubah menjadi masyarakat sebagai subyek peraturan dengan keanekaragamn perilaku.
Tranformasi Sosial merupakan pendekatan perencanaan dimana masyarakat menentukan nasibnya sendiri (bottom up planning). Pendekatan ini akan menuntut peranan Pemerintah bersama dengan masyarakat, untuk mengembangkan visi bersama dalam merumuskan wajah ruang masa depan.
Saat ini permasalahan penataan ruang yang sering terjadi adalah ketidak pedulian masyarakat (publik) dalam penyelenggaraan penataan ruang. Adanya sikap acuh dan kurang memahami esensi penataan ruang itu sendiri. Hal ini disebabkan karena kurangnya pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.
b. Analisis Masalah
1. Bagaimana Eksistensi Transformai Sosial dalam masyarakat?
2. Apa saja penyebab Transformasi Sosial dan bagaimana cara untuk mengatasinya?

PEMBAHASAN
TRANSFORMASI SOSIAL

1. Eksistensi Transformasi Sosial dalam masyarakat
Definisi lain dari transformasi sosial adalah perubahan sosial yang berarti, segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990).
Transformasi sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat misalnya, perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
1.1 Pengertian Transformasi Sosial
Ada beberapa pengertian tentang tranformasi sosial yaitu,
a) Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang bersifat mendasar dan mengubah pola-pola hubungan dalam masyarakat .
b) Perubahan fundamental dalam pandangan terhadap realitas sosial (kehidupan sosial), yaitu transformasi dari tahap pemikian evolusi sosial menuju pada perubahan fundamental dalam pemikiran yang menghasilkan perubahan kehidupan nyata.
c) Perubahan Fundamental dalam masyarakat, yaitu mengarah pada pencarian penjelasan tentang sifat dasar yang sistematis dari masalah sosial dan penemuan akar penyebab untuk menciptakan:
a. Transformasi kelembagaan : sosial, budaya, teknologi, dan lingkungan
b. Keseimbangan kekuatan : politik, ekonomi dan komunikasi
c. Kesadaran kritis terhadap dunia sosial.
Selain itu para ilmuan juga mendefinisikan tentang Transformasi Sosial, yaitu:
a. Menurut Gillin
Suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik yang timbul karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk idiologi maupun karena adanya penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut.
b. Menurut Mc. Iver
Perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan dalam hubungan sosial tersebut
c. Menurut Selo Sumardjan
Perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan pada suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat.

Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang bersifat mendasar dan mengubah pola-pola hubungan dalam masyarakat. Hukum responsif menempatkan diri dekat dengan masyarakat, dan berupaya mewujudkan tujuan bersama, bukan tujuan negara.
Transformasi sosial hanya terjadi jika perancangan peraturan bertujuan mengubah institusi sosial. Institusi adalah perilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara berulang-ulang atau terus menerus. Ketika ada perilaku yang bermasalah, maka peraturan itu dibuat untuk mengatasi perilaku yang bermasalah tersebut.
Untuk merancang peraturan yang dapat mengatasi perilaku bermasalah tersebut, digunakan metode perancangan peraturan yang disebut Metode Pemecahan Masalah (MPM). MPM selalu mensyaratkan analisis sosial dalam merancang sebuah peraturan. Untuk menemukan penyebab sebuah perilaku bermasalah seorang perancang mengajukan pertanyaan penting: mengapa seseorang berperilaku tertentu dihadapan hokum. Jadi tidak langsung mengatur mengenai sanksi terhadap suatu perilaku bermasalah .

1.2 Transformasi Sosial dalam Arti Progress dan Regress
a. Perubahan dalam arti Progress
Adalah perubahan yang membawa kemajuan bagi masyarakat, dalam arti perubahan tersebut membawa keuntungan dan kemudahan bagi kehidupan masyarakat.
b. Perubahan dalam arti Regress
Adalah perubahan yang membawa pengaruh kurang menguntungkan bagi masyarakat pada bidang-bidang kehidupan tertentu.

1.3 Macam/Jenis/Bentuk Transformasi Sosial
A. Berdasarkan Pengaruhnya
a. Perubahan Kecil,
Yaitu perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang kurang berarti bagi masyarakat. Contoh: perubahan akibat mode pakaian.
b. Perubahan Besar,
Yaitu perubahan yang membawa pengaruh besar bagi masyarakat, karena akibat perubahan tersebut berpengaruh pada beberapa lembaga kemasyarakatan (pranata sosial). Contoh: perubahan akibat industrialisasi.
B. Berdasarkan Perencanaannya
a. Perubahan yang Direncanakan/Dikehendaki
Yaitu perubahan yang telah direncanakan lebih dulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan disebut “Agent of Change” yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga kemasyarakatan (pranata sosial).
b. Perubahan yang Tidak Direncanakan/Tidak Dikehendaki
Yaitu perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibatsosial yang tidak diharapkan masyarakat.
C. Berdasarkan Waktunya
a. Perubahan Cepat (Revolusi),
Yaitu perubahan yang berlangsung engan cepat dan menyangkut sendi-sendi pokok/dasar-dasar kehidupan masyarakat (lembaga kemasyarakatan).
b. Perubahan Lambat (Evolusi),
Yaitu perubahan yang memerlukan waktu lama dan umumnya terdiri dari rentetan/rangkaian perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat.

2. Sebab-sebab terjadinya transformasi sosial dan cara mengatasinya
2.1 Faktor dari dalam Masyarakat
a. Bertambah atau Berkurangnya Penduduk
b. Pertentangan (Conflict) dalam Masyarakat
c. Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi dalam suatu Masyarakat
d. Penemuan Baru
Ada beberapa hal yang mempengaruhi perilaku seseorang, sebagian terletak di dalam individu sendiri yang disebut faktor intern dan sebagian terletak diluar dirinya yang disebut faktor ekstern, yaitu faktor lingkungan. Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya agar tidak menjadi lingkungan yang kurang dengan rasa sosial.
Lingkungan sederhana hanya memiliki sedikit faktor lingkungan, sedangkan lingkungan kompleks mempunyai banyak faktor lingkungan. Terjadinya sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan tersebut diharapkan dan direncanakan. Terdapat faktor yang mendorong sehingga mendukung budaya, lebih-lebih lagi dalam masyarakat yang kompleks dan mengalami perubahan yang pesat. Faktor perubahan sosial eksternal yang terjadi dengan cepat dan tidak diikuti dengan perubahan perilaku, dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, nanti pada gilirannya akan menjadi hambatan .
Transformasi sosial yang menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kerangka implementatif utama dari proyek modernisasi, dan membawa dampak pada berkembangnya masyarakat menjadi semakin kompleks dengan berbagai permasalahan yang ada. Contohnya para pedagang kaki lima di perkotaan yang mengalami perubahan peran sejalan dengan perubahan pengetahuan yang dimiliki.
Kenyataannya transformasi sosial menunjukkan bahwa keduanya dapat terjadi secara bersamaan dan tidak sendiri-sendiri. Melalui pendekatan strukturasi Giddens dipahami bahwa transformasi sosial sektor informal di perkotaan sebagai fenomena struktural, yakni sebagai implikasi perubahan yang dilakukan dengan fenomena individual, dan kehendak otonom agen yang tidak bisa dipisahkan.
Struktur sosial perkotaan selain membatasi individu pedagang kaki lima dalam menjalankan usahanya, juga memberikan kesempatan bagi pedagang kaki lima untuk berkreasi mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga terjadilah perubahan yang terus menerus dalam ruang dan waktu atau perubahan yang kemudian disebut transformasi sosial sektor informal di perkotaan.
Terjadinya transformasi sosial dalam sektor informal khususnya pedagang kaki lima pada arus individu maupun kelompok, mengakibatkan perubahan yang mendasar dan sekaligus gradual dalam sistem sosial sektor informal pedagang kaki lima, bahwa pada pelaku perubahan yang terlibat atau subjek pada transformasi sektor informal pedagang kaki lima, dan berlangsung perubahan secara kompleksitas dalam permasalahan ekonomi, seperti pertumbuhan pendapatan, dan segi-segi sosial, seperti posisi dan status sosial pelaku dalam sistem sosial, bahwa perubahan atau transformasi sosial pada sektor pedagang kaki lima terjadi secara unik dalam sebuah kontinum dalam arti ganda yakni pada satu sisi mengalami perubahan atau transformasi per dan inter karakteristik, baik dengan perluasan maupun pengambilalihan. Pada sisi lainnya meninggalkan atau menguatkan karakteristik perubahan itu sendiri atau pemapanan .

2.2 Faktor dari Luar Masyarakat
a. Lingkungan Alam Fisik di Sekitar Manusia
b. Peperangan
c. Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain
d. Krisis kemanusiaan global
Krisis kemanusiaan global merupakan dampak nyata dari tranformasi sosial, hal ini dapat menyebabkan dampak-dampak sebagai berikut:
 Masalah ekonomi, krisis lingkungan, pengangguran, rasialisme, konflik dan perang, serta berbagai bentuk krisis lainnya.
 Krisis global lebih disebabkan oleh tingkat konsumsi material yang berlebihan dan ambisi untuk akumulasi kapital yang tanpa batas dalam proses industrialisasi global.
 Telah menghasilkan situasi tidak memadahinya support sistem kehidupan bagi kebanyakan orang dan menciptakan pemiskinan yang langgeng dan sistematis bagi negara-negara non industri.

2.3 Faktor-faktor Pendorong Proses Perubahan Sosial
a. Kontak dengan kebudayaan lain melalui proses difusi, yaitu proses penyebaran unsur- unsur kebudayaan dari individu/kelompok yang satu ke individu/kelompok yang lain.
b. Sistem pendidikan formal yang maju.
c. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju.
d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
e. Penduduk yang heterogen.
f. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
g. Berorientasi ke masa depan.
h. Adanya “nilai” yang berarti manusia harus selalu berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

2.4 Faktor Penghambat Proses Perubahan Sosial
a. Kurangnya hubungan/kontak dengan masyarakat lain.
b. Adanya perkembangan IPTEK yang terhambat/tertinggal.
c. Sikap-sikap masyarakat yang tradisional.
d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam secara kuat (vested interest).
e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan/goncangan pada integrasi kebudayaan.
f. Prasangka buruk terhadap hal-hal baru/asing atau sikap yang tertutup.
g. Hambatan-hambatan yang bersifat idiologis.
h. Adat atau kebiasaan.
i. Adanya “nilai” yang berarti hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.

2.5 Prinsip Penelitian Transformasi Sosial
Tranformasi yang memiliki misi untuk memfasilitasi proses transformasi sosial pada tingkat individu dan masyarakat dengan pendekatan sosial budaya melalui pendidikan popular sebagai medianya, juga memiliki prinsip-prinsip sebagaimana berikut,
1. Mengadopsi pendekatan holistik: Transformasi sosial concern pada semua aspek kehidupan sosial pada semua level.
2. Interdisciplinarity harus dilandasi kerangka dasar keilmuan yang mengentaskan.
3. Sistem analisis keilmuan harus diintegrasikan dalam kerangka kerja penelitian.
4. Historical analysis harus menjadi bagian dari setiap studi.
5. Comparative analysis antara satu kehidupan sosial dengan yang lain harus dilakukan untuk membangun pemahaman pola hubungan global dan lokal.
6. Pendalaman terus menerus mengenai masyarakat dan budayanya.
7. Metode-metode participatory harus diintegrasikan dalam proses studi terutama pada kelompok-kelompok lemah, miskin, dan minoritas.
8. Budaya dan identitas memainkan peran vital didalam analisis respon terhadap globalisasi.
9. Peneliti dan organisasinya masuk dalam jaringan penelitian di semua tingkatan.
10. Peneliti harus mendefinisikan nilai-nilainya, dan ilmu pengetahuannya harus digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial dan untuk mencapai kehidupan yang berkelanjutan.
11. Peneliti harus membuat kerja-kerja mereka mudah diakses oleh masyarakat.

2.6 Gerakan Perubahan Sosial
Transformasi sosial telah dimulai sejak 40 tahun lalu yang mewujud dalam berbagai bentuk gerakan perubahan sosial, yang kini terus meningkat kesadaran untuk mengembangan gerakan-gerakan perubahan sosial, dan Gerakan perubahan sosial memiliki imbas luar biasa dalam negara. Ada bermacam jenis gerakan sosial. Meskipun semua ini diklasifikasikan sebagai jenis gerakan yang berbeda, jenis-jenis gerakan ini bisa tumpang-tindih, dan sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan .

a. Gerakan Protes.
Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian. Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan reformasi dan gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat.
a. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.
b. Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.

b. Gerakan Regresif
Gerakan ini juga disebut juga Gerakan Resistensi. Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.
c. Gerakan Religius
Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.

d. Gerakan Komunal
Kita juga bias menyebutnya sebagai Gerakan Utopia. Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).

e. Gerakan Perpindahan
Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory sosial movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.

f. Gerakan Ekspresif
Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika.

g. Gerakan Kultus Personal
Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius.

f. Beberapa gerakan-gerakan sosial:
 Gerakan perempuan
 Gerakan lingkungan
 Gerakan perdamaian
 Gerakan buruh
 Gerakan spiritual
 Gerakan pembebasan kulit hitam
 Gerakan mahasiswa

PENUTUP
1. Kesimpulan
Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang berarti, segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya.. Transformasi sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat misalnya, perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi perilaku seseorang, sebagian terletak di dalam individu sendiri yang disebut faktor intern dan sebagian terletak diluar dirinya yang disebut faktor ekstern, yaitu faktor lingkungan.
Transformasi sosial dapat menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kerangka implementatif utama dari proyek modernisasi, dan membawa dampak pada berkembangnya masyarakat menjadi semakin kompleks dengan berbagai permasalahan yang ada. Contohnya para pedagang kaki lima di perkotaan yang mengalami perubahan peran sejalan dengan perubahan pengetahuan yang dimiliki.
Ada beberapa faktor yang mendorong perubahan sosial, salah satunya adalah, Kontak dengan kebudayaan lain melalui proses difusi, yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu/kelompok yang satu ke individu/kelompok yang lain, sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju, dan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Sedangkan beberapa faktor yang menghambat transformasi sosial adalah kurangnya hubungan/kontak dengan masyarakat lain, adanya perkembangan IPTEK yang terhambat/tertinggal, dan adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam secara kuat (vested interest).

2. Analisis Konsep
Di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Surabaya tidak sulit menemukan segolongan warga yang dikategorikan sebagai pekerja sektor informal. Di sudut-sudut kota mereka mencari rezeki, memanfaatkan perputaran waktu 24 jam. Mereka antara lain pedagang kaki lima, pedagang asongan/keliling, sopir angkutan kota, buruh lepas, penjual jamu gendong, kuli angkut barang, sampai pembantu rumah tangga. Pekerjaan mereka sering dianggap kurang produktif karena hanya sekadar mencari makan, tidak untuk memaksimalkan keuntungan.
Ciri-ciri mereka biasanya, berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil, dan umumnya kaum imigran, sehingga tidak jarang mereka menjadi sasaran penertiban Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena dianggap liar, sumber kemacetan lalu lintas, muasal kriminalitas, dan pengotor keindahan kota. Padahal, pekerja sektor informal ini ada akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Mereka sesungguhnya turut membantu mengurangi pengangguran sekaligus mereduksi kemiskinan karena telah menciptakan lapangan pekerjaan.
Seharusnya pemerintah memberikan izin kepada mereka untuk tetap bekerja sesuai dengan profesi mereka, karena faktanya sejak dahulu hingga sekarang bahkan sampai kapanpun sektor informal tidak akan bisa dihapus atau dihilangkan, sebab itu merupakan pilihan bagi mereka yang menggeluti pekerjaan di sektor informal.
Realitas diatas semakin membuat jarak dan menjadikan pemisah antara yang formal dan informal antara yang legal dan ilegal. Oleh karena itu tepat kiranya jika ada upaya pelembagaan sektor informal sebagai salah satu bentuk pengukuhan terhadap eksistensi pedagang kaki lima dalam pusaran modernitas.
Perlu di ketahui bahwa pedagang kaki lima dalam aktifitasnya telah mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya sekedar mereka beralih profesi melainkan perubahan pola peran, interaksi dan jaringan pedagang kaki lima. Karena perasaan senasib dan sepenanggungan, lebih-lebih bagi mereka yang banyak berasal dari daerah yang sama.
Mereka telah banyak melakukan proses-proses transformasi sosial ekonomi dan budaya terhadap pedagang kaki lima lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Pedagang kaki lima yang dulunya berada pada status pengetahuan yang rendah berubah akibat pengetahuan dan teknologi yang dikuasai menjadi lebih besar. Konsekuensi dari perubahan peran tersebut akan berimbas pada perubahan interaksi yang dilakukan. Interaksi pedagang kaki lima menjadi semakin luas tidak hanya sekedar hubungan ekonomi dalam jual beli tetapi juga pada eksistensi sosial dan politik pedagang kaki lima perkotaan.
Akibat dari perubahan peran dan interaksinya tersebut berubah pula jaringan sosialnya. Jaringan sosial menjadi semakin luas menembus batas-batas hubungan yang tidak sekedar bertahan hidup di perkotaan tetapi dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan.

DAFTAR PUSTAKA

• http://one.indoskripsi.com/node/5906
• http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/perubahan-sosial/
• http://arijuliano.blogspot.com/2008/07/hukum-transformasi-sosial-dan-naskah.html
• http://arijuliano.blogspot.com/2008/07/hukum-transformasi-sosial-dan-naskah.html
• http://www.acehforum.com/search/Faktor-faktor+yang+mempengaruhi+perubahan+sosial+budaya
• http://www.acehforum.com/search/Sebab-Sebab+Perubahan+Sosial+Budaya
• http://siap-bos.blogspot.com/2009/05/model-transformasi-sosial-sektor.html
• Satrio Arismunandar http://netsains.com/2008/03/lebih-jauh-mengenal-gerakan-sosial/
Jumat, 20 Januari 2012

Hubungan Pancasila dengan Ideologi Islam

Islam adalah Al Qur’an dan Pancasila adalah UUD 45. Kedua ideologi ini adalah dasar hidup yang berbeda asal-usul dan tujuannya. Apa tujuan Allah menciptakan manusia tentunya sudah sangat diketahui oleh kita semua. Sedangkan Pancasila tentunya juga sudah menjadi pengetahuan publik Indonesia khusunya, yaitu untuk mempersatukan kemajemukan bangsa Indonesia. Macam-macam budaya, ras dan agama dari Sabang sampai Merauke haruslah disatukan dalam sebuah ikatan agar Indonesia tidak terpecah belah.
Islam adalah salah satu keyakinan umat manusia yang di dalamnya penuh dengan aturan-aturan atau etika, yang sesuai dengan fitrah manusia. Dan dalam menjalankan seluruh aktifitasnya pun diatur dengan norma-norma, misalnya cara kita shalat kita berdagang dan yang lainnya itu diatur dengan ilmu syariat Islam, untuk mengenai keyakinannya diatur dengan ilmu tauhid Islam. Secara generik, Islam adalah agama yang membawa misi pembebasan dan keselamatan.
Atas dasar ini, Islam adalah agama tidak hanya menjadi agama yang membawa wahyu ketuhanan, melainkan agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan (ZuhairiMisrawi,2003: 48) . Jadi seluruh aktivitas manusia diatur oleh norma yang ada yang sesuai dengan yang diperlukannya, karena dalam Islam sudah terdidik dengan gaya demokrasi hingga sekarang diyakini sebagai model dan sistem terbaik untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang adil.
Begitu juga dengan Pancasila ketika masuk pada hati nurani bangsa Indonesia diterima secara langsung sebagai barang jadi tanpa ada kritikan dari masyarakat sekalipun, sehingga sampai sekarang banyak kaum intelek ingin mengubahnya terutama dalam cara menafsirkannya. Akan tetapi pada masa pemerintahan orde baru rakyat dan para intelek terkekang dengan sistem atau struktur yang ada, namun setelah rezim orde baru digulingkan pada bulan Mei tahun 1998, di sanalah amuk masa mulai berani mengkritisi fenomena yang ada terutama masyarakat atau ormas Islam yang mengusung syariat Islam harus diberlakukan dan sebagai referennya adalah Piagam Jakarta, akan tetapi pada kenyataannya susah untuk diterapkan, melainkan kita harus ada pada posisi kenetralan, untuk menghindari bentrokan antara Islam dan Pancasila, sehingga antara Islam dan Pancasila ada pada posisi yang sama tidak ada yang dinomorsatukan melainkan saling menunjang antara undang-undang dalam Islam dan Pancasila sebagai aturan negara.
Pancasila itu kebudayaan, tidak sakral, ia bisa berubah, negara NKRI juga kebudayaan, tidak sakral, bisa berubah menjadi kerajaan bisa menjadi federal, bisa dijajah. Agama Islam ada sisi yang bersifat mahdlah, murni, tak boleh diubah, tidak ada ruang kreatifitas. Tetapi kebudayaan Islam itu hasil pemikiran manusia yang diilhami oleh ajaran Islam, maka karena kebudayaan itu ruang kreatifitas maka kebudayaan Islam bisa berubah, bisa berbeda-beda pandangan, berbeda mazhab.
Menerapkan syariat Islam ke dalam kehidupan bernegara adalah proses pembudayaan, karena negara dan Panca Sila itu kebudayaan, maka prosesnya antara lain melalui Piagam Jakarta yang berbunyi, negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya (Piagam jakarta juga kebudayaan). Konstitusi kita sudah memberi peluang untukmemasukkan nilai-nilai syariat Islam ke dalam Undang-Undang, maka sudah ada undang-undang Haji, undang-undang Perkawinan, undang-undang wakaf, undang-undang Zakat.
Pancasila berposisi strategis, yaitu menjadi titik temu (Common Denominator) atas banyak perbedaan. Nilai-nilai normatif Pancasila tidak ada gunanya dipertentangkan dengan nilai-nilai agama. Pancasila bukan benda keramat, selain merupakan suatu konsensus nasional yang terkait dengan pengaturan kehidupan kebangsaan. Beragam pandangan politik Islam tumbuh di Indonesia. Dan selama mereka tidak memperjuangkan pandangannya melalui jalur kekerasan, negara tidak berhak memberangusnya. Di dalam demokrasi, perbedaan adalah taman sari. Dan alangkah eloknya apabila yang berkembang adalah dialog dan toleransi, bukan konflik dan permusuhan.
Bangsa Indonesia patut bersyukur mempunyai Pancasila, sehingga tidak ada diametral ideologi agama versus sekularisme seperti di Turki. Walaupun harus diakui masih banyak ganjalan terkait dengan hubungan antara agama dan negara yang perlu dituntaskan, demokrasi telah memberikan kesempatan kepada semua kalangan dalam prinsip antara lain kesetaraan dan imparsialitas. Demokrasi politik menjadikan kekuatan-kekuatan politik terkuantifikasi dalam pemilu.

Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara

1. Arti idiologi
Ideologi adalah gabungan dari dua kata idea dan logos, yang berasal dari bahasa Yunani Eidos dan logos. Secara sederhana ideologi berari suatu gagasan yang berdasarkan pemikira yang sedalam-dalamnya dan merupakan pemikiran filsafat. Dalam arti luas istlah ideologi dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.
Beberapa pengertian ideologi:
 A.S. Hornby mengatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seorang atau sekelompok orang.
 Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan, dan agama.
 Gunawan Setiardja merumuskan ideologi sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
 Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan ideologi terbuka, yaitu:
Ideologi tertutup, merupakan suatu sistem pemikiran tertutup. Ciri-cirinya: merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat; atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat; isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak.
Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-cirinya: bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut; nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional.
A. Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan, dan yang ber-Keadilan.
Pancasila sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi sebagai sarana pemersatu masyarakat yang dapat memparsatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.
B. Fungsi ideologi menurut beberapa pakar di bidangnya :
1. Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual.
2. Struktur kogntif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang dapat meupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dn kejadian-kejadian di dalam alam sekitarnya.
3. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
4. Orientasi desar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupa manusia.
5. Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda.
6. Sebagai kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
7. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta bertingkah laku sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya.
Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua, yaitu: sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, dan sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Dalam artian ini disebut ideologi. Kata ideologi sering juga ditemukan untuk pengertian memutlakan gagasan tertentu, sifatnya tertutup dimana teori-teori bersifat pura-pura dengan kebenaran tertentu, tetapi menyembunyikan kekuasaan tertentu yang bertentangan dengan teorinya.
Dalam praktek orang menganut dan mempertahankan ideologi, karena memandang ideologi itu sebagai cita-cita hidup. Oleh sebab itu menurut Gunawan Setiardja (1993). Ideologi dapat dirumuskan sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
Ideologi berada satu tingkat lebih rendah dari filsafat. Berbeda dengan filsafat, yang digerakkan oleh kecintaan kepada kebenaran dan sering tanpa pamrih apapun juga, maka ideologi digerakkan oleh tekat untuk mengubah keadaan yang tidak diinginkan, menju kea rah yang diinginkan. Dalam ideologi sudah ada suatu komitmen, sudah terkandung wawasan masa depan yang dikehendaki dan hendak diwujudkan dalam kenyataan.
Dewasa ini, ideologi telah menjadi suatu pengertian yang kompleks. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan terjadinya pembedaan yang makin jelas antara idelogi, filsafat, ilmu, dan teologi. Ideologi dipandang sebagai pemikiran yang timbul karena pertimbangan kepentingan. Di dalam ideologi orang tidak mempermasalahkan nilai kebenaran internalnya. Ideologi dipandang sebagai belief sistem, sedangkan ilmu filsafat, ataupun teologi merupakan pemikiran yang bersifat refleksi, kritis dan sistematik, yang pertimbangan utamanya adalah kebenaran pemikiran. Karena perbedaan itu ideologi disebut sebagai suatu sistem pemikiran yang sifatnya tertutup (Pranarka, 1986: 372).
Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahawa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Kerena Pancasila merupakan ideologi dari negeri kita. Dengan adanya persatuan dan kesatuan tersebut jelas mendorong usaha dalam menegakkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Ini membuktikan dan meyakinkan tentang Pancasila sebagai suatu yang harus kita yakini karena cocok bagi bangsa Indonesia.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
2. Oleh karena itu, mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagn dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
2. Pancasila sebagai ideologi bangsa
Sebagai suatu ideologi bangsa dan Negara Indonesia, maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil peenungan atau pemikiranseseorang atau sekelompok orang, sebagaimana ideologi-ideologi lain di Indonesia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adapt istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membenuk Negara, dengan kata lain unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain ialah diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan).
Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negra, sehingga pancaisla berkedudukan sebagai dasar Negara dan ideologi bangsa srta Negara Indonesia. Dengan demikain pancisila sebagai ideologi bangsa dane Negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa. Dan bukannya mengangkat atu mengambil ideologi dari bangs lain. Selain itu Pancasila juga bukan hanya merupakan ide-ide atau perenungan dari eseorang saja, yang hanya memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa sehingga Pancasila padahakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komperhensif. Oleh karena Pancasila memiliki ciri khas yang seperti itu, maka Pancasila juga memiliki kesesuaian dengan bangsa Indonesia.
Pancasila disebut sebagi dasar negara, karena maksud penyusunanya adalah untuk meruuskan dasar bagi Indonesia merdeka. Dengan sebutan Pancasila sebagai dasar Negara maka, seluruh aktifitas penyelenggaraan Negara dan pengaturan hidup kenegaraan harus didasari dan bersumber kepada Pancasila tersebut. Sejalan dengan fungsi dan kedudukan inilah MPRS pada tahun 1966 memantapkan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber yang ada di Indonesia.
Selanjutnya, sebutan kedudukan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara karena Pancasila merupakan asas kerohanian Negara, sebagai sumber nilai dan sebagai norma kehidupan kenegaraan. Dengan demikian, penetapan Pancasila sebagai dasarfilsafat Negara menjadikan panscasila sebagai tatanan dan sistem nilai yang mengatur tat kehidupan Negara. Oleh karena itu secara objektif dan detail nilai-nilai tersebut dijabarkan dan diterjemhkan secara terurai dan rinci ke dalam batang tubuh undang-undang dasar, yang disebut undang Undang Dasar 1945.
Pancaila sebagai dasar falsfah Negara merupakan kristalisasi hasil perenungan bangsa mengenai berbagai permasalahan hidup yang mendasar yang tumbuh dalam proses sejarah yang panting. Oleh karena itu, Pancasila akan memberi inspirasi pengembang tatanan kehidupan kenegaraan karena Pancasila merupakan pandangan bangsa mengenai nilai-nilai fundamental dari kebaikan dan keburukan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kedudukan pancaila sebagai dasar Negara yang memberikan hukum. Sementara kedudukannya sebagai dasar filsafah Negara, Pancasila memberikan wawasan ilmu, etik dan moral. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan pokok kaidah Negara yang fundamental. Dengan demikian, makna Pancasila sebagai dasar falsafah Negara memiliki sifat yang tetap tidak berubah dan tidak dapat diubah dengan upaya hukum, oleh siapa pun dan kapan pun, termasuk oleh MPR hasil pemilu.
Berdasarkan hal tersebut, maka MPRS melalui sidangnya tahun 1966 mengukuhkan dalam ketetapannya No: XX/MPRS/66, bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumberhukum yang bersifat tetap dan tidak dapat diubah oleh siapa pun dan kapan pun.
3. Perbandingan ideologi Pancasila dengan ideologi lain
Ideologi Pancasila berbeda dengan ideologi-ideologi, seperti kapitalisme dan komunisme, kedua ideologi itu telah terlebih dahulu lahir sebagai pemikiran filosof yang kemudian dituangkan dalam rumusan ideologi dan setelahnya baru diwujudkan dalam konsep-konsep politik. Jangka waktu yang dilalui keseluruhan proses ini bisa sampai puluhan tahun. Manifesto komunis, misalnya diumumkan pada tahun 1841 sebagai pernyataan ideologis dari falsafah Marxisme. Konsep polotiknya diwujudkan pada tahun 1917, dalam revolusi Oktober di Rusia. Ada jarak waktu selama 76 tahun antara ideologi dan poloik. Kapitalisme yang telahr terlebuh dahulu, menjalani proses yang lebuh panjang. Rangkaian pemikir falsafah menyampaikan hasil renungannya terlebh dahulu, yang kemudian diwujudkan dalam tatanan hidup bernegara.
Proses yang dilalu oleh Pancasila sedikit khusus, praktis sebelum ada pemikiran filosofis sebelum tahun 1945 yang secara sistematis menguraika pemikiranya secaramendalam mengenai ideologi untuk negara yang hendak dibentuk, pemikiran mengapa kita merdeka tetapi belum ada wawasan terpadu mengenai bagaiman konsepsi masa depan yang hendak dibangun itu. Pemikiran demikian itu baru timbul setelah para pemimpin kita bermusyawarah secara intensif di penghujung perang Dunia ke-II, secara eksplisit oleh ketua BPUPKI, Dr. Radjiman: apa dasar negara yang hendak kita bentuk? Pertanyaan itu dijawab dengan mencari nilai-nilai dasar yang sama dalam kemajemukan budaya masyarakat kita. Dengan demikian, penerimaan Pancasila pertam-tama dirumuskan sebagai konsensus polotik, yang di dasarkan kepada nilai kultural masyarakat (BP-7 Pusat, 1991: 385).
A. Ideologi Liberalisme
Ajaran liberalisme adalah ajaeran yang melihat manusia sebagai makhluk bebas, yaitu membawa unsur-unsur esensial, yaitu rasionalisme, materialisme, dan empirisme, serat individualisme, hal ini sangat bertolak belakang dengan hak asasi manusia yang melekat pada manusia sjak ia lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk panguasa, keculi denagn persetujuannya.hak asasi tersebut memiliki nilai-nilai dasar (intrinsic), yaitu kebebasan dan kepantingan pribadi yang menuntut kebebasan individu secara mutlak, yaitu kebebasan mengejar kebahagiaan hidup ditengah-tengah kekayaan materil yang melimpah dan dicapai denagn bebas. Ancaman dari paham leberalisme hampir tidak dapat digolongkan dalam uraian sejarah sebagaimana tergambar dalam ancaman golongan komunis.
Ancaman liberalisme sangat terselubung dan secara tidak sadar dapat tertanam dalam cara berpikir dan bertindak pada masyarakat tertentu di Indonesia. Paham liberalisme selalu mengkaitkan aliran pikiranya denag hak asasi manusia yang menyebabkan paham paham tersebut memiliki daya tarik yang kuat dikalangan masyarakat tertentu.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Pancasila yang memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang mengemban tugas sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial sehingga dalam kehidupan bermasyarakat wajib menyelaraskan kepentingan pribadinya dengan kepentingan masyarakat dan haknya selalu dikaitkan dengan kewajibannya terhadap masyarakat.((BP.7 1993: 73-74).
B. Ideologi Sosialisme/komunis
Ajaran ideologi sosialisme yang diprakarsai oleh Marx (1818-1883), yang dikenal dengan teori Marxisme didasarkan kepada kebendaan, yang tidak mempercayai terhadap adanya Tuhan, bahkan agama dikatakan sebagai racun, ajaran ini kebanyakan dianut oleh kaum komunis yang secara tegas menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu yang fundamental, selain itu ajaran ini menghendaki masyarakat Indonesia tanpa nasionalisme, serta mendasarka kepada sesuatu keyakinan bahwa manusia hanya makhluk sosial saja.
Manusia pada hakikatnya adalah merupakan sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan bukannya individualitas. Hak milik pribadi tidak ada karena hala ini akan menimbulkan kapitalismeyang pada gilirannya kan melakukan penindasan paa kaumproletar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa individualisme merupakan sumber penderitaan rakyat. Oleh karena tu hak mili individual harus digani dengan hak milik kolektif. Individualisme diganti dengan sosialisme komunis. Karena tidak adanya hak individu, maka dapat dipastikan bahwa menurut paham komunisme demokrasi individualis itu tidaka ada, yang ada hanyalah hak komunal.
Hali ini tentu saja berlawanan dengan Pancasila, yang memiliki sila ketuhanan yang Maha Esa, dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Tentu saja masyarakat yang menganut ideologi Pancasila haruslah patuh dan mengikuti sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.