Sabtu, 10 Maret 2012

Epistimologi Ilmu

PENDAHULUAN

Asas-asas filsafat merupakan suatu kajian yang mengentengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat. Dalam hal ini dikaji beberapa bidang utama filsafat seperti, metafisika, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga bidang ini dapat dipandang sebagai pilar utama suatu bangunan filsafat jika kita ingin memahami visi filsafat seseorang atau suatu aliran.

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi), pengetahuan tesebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu berkaitan dengan aksiologi dan seterusnya.
Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan menegnai dunian empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka pertama-tama kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu bisa terjadi. Mengapa terjadi tanah longsor? Mengapa anak-anak muda menjadi gelisah pada masa Sturmund Drang? Mengapa terjadi kekurangan makan di daerah lahan yang gersang? Untuk bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu, maka kita harus mengusai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Dengan demikian, maka penelahaan ilmiah diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Penjelasan yang diarahkan dalam metode ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanis terjadinya gejala itu. Contonhnya kegiatan ilmiah ngin mengetahui mengapa secangkir kopi yang diberi gula bisa manis rasanya. Hubungan antara gula dan kopi yang menyebabkan rasa manis itulah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Epistemologi

Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan (knowledge). Sedangkan Logos berarti teori. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Lacey mengatakan bahwa epistemologi membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,” Sedangkan Qodri Azizy mengatakan epistimologi sebagai filsafat ilmu, dan cenderung berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme berarti knowledge atau science, sedangkan Logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know.
Dengan demikian epistemologi atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, peranggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.

Pembicaran tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemologi tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.

Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.

Perbedaan tersebut muncul akibat sudut pandang yang berbeda, metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Dari kedua metode tersebut yang lebih dipercaya tergantung pada jenis dan sifat obyek studi. Sebagai contoh, penganut empirisme lebih cenderung kepada teori korespondensi tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik dengan teori koherensi. Dari pernyataan tersebut, dapat diambil pemikiran bahwa kedua aliran tersebut membicarakan tentang hakekat kebenaran, karena pada dasarnya semua pengetahuan membahas dan mempersoalkan kebenaran.

Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa, pada hakekatnya epistemeologi adalah ilmu yang berusaha membahas tentang pengetahuan, yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Dari pendapat Amsal Bakhtiar tersebut, jelaslah makna epistemologi itu sendiri, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mencari metode untuk mendapatkan pengetahuan.

Mendapatkan pengetahuan berarti berhubungan dengan mengetahui, menurut Amsal Bakhtiar mengetahui sesuatu pada dasarnya adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek dalam akal tentang sesuatu yang berada di luar akal. Pendapat Amsal Bakhtiar merupakan duplikasi dari pendapat Aristoteles yang juga berpendapat seperti itu. Amsal menyatakan bahwa penyusunan dalam akal bisa jadi sama dengan fakta di luar akal dan bisa saja berbeda dengan yang diluar akal. Dengan kata lain, apakah gambaran dalam akal akan sama dengan realitas di luar akal. Hal ini akan merujuk kepada hakekat kebenaran.

Adapun objek material dari epistemologi itu sendiri adalah pengetahuan. Setiap filosof menawarkan aturan yang tepat, cermat, dan terbatas untuk menguji berbagai tuntutan lain yang menjadikankit dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap perangkat aturan harus benar-benar mapan. Sebab definisi tentang “kepercayaan,” dan “kebenaran” merupakan masalah yang tetap dan terus menerus ada, sehingga teori pengetauan tetap merupakan suatu bidang utama di dalam penyelidikan filsafat.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistemlogi berkisar kepada masalah asal usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan denagn keniscayaan, hubungan antara pengetahuan denagn kebenaran, kemungkinan skeptisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konteptualisasi baru mengenai dunia.

Semua persoalan tersebut di atas terkait dengan persoalan-persoalan penting filsafat lainnya seperti: kodrat kebenaran, kodrat pengalaman dan makna. Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dengan pikiran merupakan sesuatu yang kodrati.

B. Objek dan Tujuan Epistemologi

Aktivitas berfikir dalam kecenderungan pertama (satu tujuan dengan objek yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian cara sebanyak-banyaknya, sedang berpikir dalam kecenderungan kedua (satu objek untuk tujuan yang berbeda-beda) lebih mendorong pencarian hasil yang sebanyak-banyaknya. Hal ini merupakan implikasi dari tekanan masing-masing pola berpikir tersebut. Secara global, baik berpikir dalam kecenderungan pertama maupun kecenderungan kedua, tetap saja membutuhkan banyak cara untuk mewujudkan keinginan pemikirnya.

Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.

Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya, acapkali tidak mengetahui prosesnya. Guru dapat mengajarkan kepada siswanya bahwa dua kali tiga sama dengan enam (2 x 3 = 6) dan siswa mengetahui, bahkan hafal.
Namun, siswa yang cerdas tidak pernah puas dengan pengetahuan dan hafalan itu. Dia tentu akan mengejar bagaimana prosesnya, dua kali tiga didapatkan hasil enam. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lainnya.

Proses menjadi tahu atau “proses pengetahuan” inilah yang menjadi pembuka terhadap pengetahuan, pemahaman dan pengembangan-pengembangannya. Proses ini bisa diibaratkan seperti kunci gudang, meskipun seseorang diberi tahu bahwa di dalam gudang terdapat bermacam-macam barnag, tetapi dia tetap hanya apriori semata, karena tidak pernah membuktikan. Dengan membawa kuncinya, maka gudang itu akan segera dibuka, kemudian diperiksa satu persatu barang-barang yang ada didalamnya. Dengan demikian, seseorang tidak sekedar mengetahuai sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian melalui proses itu.

C. Prosedur dalam Mendapatkan Pengetahuan

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.

Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya.
Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.

Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.

D. Landasan Epistemologi

Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah.

Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan. Begitu pentingnya fungsi metode ilmiah dalam sains, sehingga banyak pakar yang sangat kuat berpegang teguh pada metode dan cenderung kaku dalam menerapkannya, seakan-akan mereka menganut motto: tak ada sains tanpa metode; akhirnya berkembang menjadi: sains adalah metode. Yang jelas dalam kenyataanya metode ilmiah telah dijadikan pedoman dalam menyusun, membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmu.
Disini perlu dibedakan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan (ilmu).
Pengetahuan adalah pengalaman atau pengetahuan sehari-hari yang masih berserakan, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diatur berdasarkan metode ilmiah, sehingga timbul sifat-sifat atau ciri-cirinya; sistematis, objektif, logis dan empiris.

Dengan istilah lain, Kholil Yasin menyebut pengetahuan tersebut dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (Scientific Knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.

E. Kebenaran Pengetahuan

Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli estimologi dan para ahli filsafat, pada umumnya, untuk dapat membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan.
Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera akan berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal atau rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat tidak dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh faham skeptisme yang ekstrim di bawah pengaruh Pyrrho.
Menurut Suparlan Supartono teori kebenaran epistemologi dapat dibagi menjadi tiga yaitu,

A. Teori koherensi teori dibangun berdasarakan hakikat pribadi rasional ilmu pengetahuan, karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruang lingkup bertarafabstrak ideal. Ukuran kebenaran diukur berdasarkan tingkat rasional,sejauh dapat diterima oleh akal.
B. Teori koresponden, teori ini dibangun berdasarkan hakikatempirik ilmu pengetahuan. Karena itu, kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruanag lingkup bertaraf konkret realistik. Ukuran kebenaran ditentukan dengan tingkat empirik, sejauh dapat dialami di dalam realita konkret, artinya kebenaran ada jika ada kesesuaian antara idea dengan pengalaman konkret.
C. Teori pragmatik, teori ini dibangun berdasarkan hakikat rasional maupun empirik ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkupcdialektis rasional danempirik, akibatnya ukuran kebenaran bersatandardua dengan menekankan pada nilai kegunaan dan dapat dikerjakan/parktis.

Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu Haq Al-Yaqin, ‘Ain Al-Yaqin, dan ‘Ilm Al-Yaqin.
Adapun kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran wahyuKebenaran spekulatif filsafat
2. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
3. Kebenaran pengetahuan biasa.

Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.

Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang.

F. Epistemologi Kritis

Latar belakang timbulnya teori kritis dalam konstelasi teoritis yaitu dimulai sejak awal zaman modern ketika munculnya ilmu pengetahuan dan munculnya teori kritis ini. Kalau kita perhatikan apa yang mendasari ilmu-ilmu sosial di Eropa, itu tak lain dari pada suatu sikap. Pertama optimistis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, sebuah sikap romantis, dalam arti kritis terhadap perkembangan ilmu alam itu sendiri. Sikap yang pertama ini berkembang sampai pada puncaknya pada abad 18, yaitu zaman pencerahan.

Pencerahan di tiga wilayah tersebut adalah, Jerman, Prancis dan Inggris yang mempunyai satu kesamaan dan perbedaan, yaitu melawan metafisika. Termasuk di dalam metafisika, tahayul-tahayul, mitos-mitos, agama dan segala macam bentuk abstraksi yang tidak mempunyai dasar empiris. Perbedaannya kalau di Prancis amat didasari oleh John Locke yang sangat empiristis, begitu juga di Inggris, namun ia sebenarnya mengembangkan pencerahannya sendiri yakni pengembangan tentang mekanisme.

Maka, di Inggris lebih mengacu pada paham deisme. Suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta ini, dia menganggur, membiarkan dunia bergerak menurut mekanismenya sendiri. Sedangkan di Jerman, motif pencerahan juga berbeda, ide yang tak pernah hilang dari filsafat Jerman adalah ide mentalitas. Oleh karena itu, menjadi mentalitas yang merasuki filsafat dan juga sastra di Jerman adalah bagaimana mengintegrasikan segala sesuatu. Dalam hal ini juga, ilmu, mitos, iman dan seterusnya. Bagaimana itu menjadi bangunan yang koheren dan utuh. Oleh karena itu, pencerahan di Jerman tidak mencabik-cabik agama, melainkan memberikan pendasaran yang kokoh, rasional tentang apa itu agama.

Adapun menang dari pencerahan itu sendiri adalah, tendensi-tendensi yang kuat empiristis. Yang dimaksud menang itu adalah yang dominan. Dan malah juga cenderung nihilistis. Hal ini seperti yang ditampilkan oleh Nietzshe misalnya yang lahir pada abad ke-19 dan merupakan titik kulminasi dari abad modern itu sendiri. Dimana kalau orang mau konsekuan untuk menaklukan alam baik alam eksternal yaitu alam material yang kita lihat ini, maupun alam internal yaitu alam psikis manusia, bagian dalam dari diri manusia, pikirannya, instingnya, sikap batinnya, kepercayaannya, semua mau ditolakkan menurut mekanisme.

Maka kalau itu semua bisa diketahui secara mekanistis, objektif, maka nilai pun diusir keluar. Karena nilai itu tidak obyektif, ia masuk dalam lingkup kebebasan manusia, seperti menafsirkan. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tendensi nihilistis boleh dikatakan jadi muara dari aufklarung.

Karl Marx, salah seorang filosof yang cukup kritis terhadap aufklarung. Ia hidup pada abad ke 19 tetapi ia juga berdiri pada tradisi aufklarung. Ia melihat aufklarung itu terlalu memusatkan perhatiannya pada pencerahan individu yang universalistis tentu saja. Pengetahuan yang universal itu diraih secara individual. Dan apa yang secara invidual diraih secara mendalam itu merupakan sesuatu yang universal yang juga dipikirkan oleh individu-individu yang lain.

Lalu apa yang dilakukan oleh Marx, yang dilakukan oleh Marx adalah sebagai anak zaman pencerahan juga yang kritis tentu saja. Ia ingin melakukan pencerahan jilid kedua. Yaitu memperlihatkan bahwa ada wilayah-wilayah kehidupan yang bisa dicerahkan bukan alam misalnya saja seperti yang dilakukan oleh kaum borjuasi. Seperti Kant misalnya, atau banyak juga orang borjuasi pada masa itu bahkan memandang manusia oleh Hobbes. Memandang manusia secara alamiah dengan segala kepentingannya.
Menurut Marx, wilayah lain yang harus dicerahkan adalah hubungan-hubungan sosial. Dan hubungan sosial ini tidak melulu bersifat alamiah. Itu terdapat di dalam Marx muda. Terjadi kemerosotan tentu saja setelah Marx mejadi matang. Dia condong tidak filosofis lagi, melainkan menjadi sangat ilmiah dan positivistis. Dia ingin menjelaskan proses hubungan antar manusia itu, sebagai proses-proses yang bisa dirumuskan menurut hukum-hukum alam.

Maka dari itu, mekanisme-mekanisme sosial yang bersifat struktural itu bekerja seperti pada misalnya biologi dan ilmu-ilmu alam lainnya bisa ditekan dan diprediksi. Katakanlah sebuah revolusi dapat diprediksi dengan ketepatan matematis. Kita dapat menganalisa tingkat kematangan kontradiksi pada basis ekonomi yang akan memuncak seperti air yang akan mendidih ada 100 derajat celcius dan kemudian akan menguap. Maka niscaya jika suhu itu dicapai akan mencapai pula titik orgastiknya. Nah, seperti gerhana matahari yang bisa diramalkan oleh Tales misalnya. Persis terjadi sesuai dengan ramalan.

Karl Marx yang semula humanis yang melihat manusia tidak sepenuhnya dapat dirumuskan, terakhir menjadi seorang ilmuan yang percaya akurasi dan objetivisme di dalam ilmunya. Dan akibatnya juga, ilmu yang disebut ilmu ekonomi politik dan marxisme ortodoks yang dianut oleh penganut-penganutnya itu tidak menghasilkan perubahan sosial karena pretensi hanya merumuskan hukum-hukum sosial.

Kemudian teori kritis masuk kedalamnya, sebetulnya hal yang tidak jauh berbeda. Sebetulnya membalikkan epiatemologi marxis yang mengatakan bahwa basis menentukan suprastruktur. Marxisme kritis termasuk di dalamnya teori keritis itu memperlihatkan bahwa determinisme seperti jelas tidak memadai untuk mesyarakat. Yang terjadi pada masyarakat adalah korelasi antara basis dan suprastruktur, bahkan kadangkala peranan suprastruktur juga amat besar dalam memberi format pada basis, basis ekonomi.
Adorno, Khorkheimer, Marcuse adalah tokoh-tokohnya. Masing-masing memiliki minat yang berbeda-beda tapi semua dilihat dalam satu kesatuan minat, tidak lain dari pada ingin membangun sebuah teori dengan maksud praktis. Lantas apa yang dimaksud dengan praksis. Selama ini, bahkan di dalam marxisme sendiri seperti yang ada di dalam Das Kapital, teori itu mau menjadi demi teori itu sendiri. Jadi teori untuk teori. Atau praksis tanpa teori, tetapi diam-diam ada ideologi di dalamnya. Itu tidak dikehendaki. Kalau mau mengubah masyarakat, kita harus menemukan sebuah konstruksi teoritis tertentu. Sungguh-sungguh ilmiah dalam arti mereka bukan ilmiah dalam arti posotivisme. Sedemikian rupa sehingga kalau seseorang memandang teori tersebut dengan analisis-analisisnya sehingga mencapai suatu insight kepada masyarakat, inilah yang disebut proyek teori kritis

Kemudian munculah Jurgen Habermas yang bertolak dari kemacetan teori kritis itu sendiri dengan dialektika pencerahan bahwa ternyata pencerahan itu adalah mitos. Menurut Habermas tidak seperti itu. pencerahan harus jalan terus. Masalahnya pada teori kritis yang lama, mereka juga terobsesi dengan paradigma positivistis. Yaitu bahwa rasio itu adalah penaklukan atas alam maka sebetulnya apa yang disebut ktitik oleh mazhab Frankfurt yang lama itu bahwa kritik itu sebetulnya adalah penaklukan atas yang dikritik tentu saja. Seperti di manakah tempat kritikus sosial dalam suatu masyarakat. kalau menurut Adorno dan Khorkheimer, dia adalah pemegang kebenaran karena dia adalah yang paling tahu. Inilah jalan yang benar. Kalau menurut Adorno, teruslah berpikir dialektis, negasi secara terbuka terus menerus. Dan itu namanya kritis. Apakah semua orang mau berpikir seperti itu belum tentu.

Orang-orang ini berpikir bahwa seorang kritikus adalah seorang pemegang kebenaran. Itukan mewarisi kesalahan orang yang dikritik juga yakni melakukan dominasi. Habermas menunjukkan bahwa bukan hanya persoalan moralitas melainkan juga kedudukan kritikus itu. Haruslah ditemukan sebuah ilmu kritis menurut dia, kritikusnya tidak lebih penting dari pada yang dikritik. Dia berada dalam kedudukan yang sama dengan orang-orang yang dikritik. Jadi bagaimana mewujudkan kesamaan. Jadi semacan demokrasi.

Ini adalah prioritas bagi seorang terapeut atau kritikus-kritikus. Maka menurut Habermas ini tidaklah konsekuen. Dalam buku pertamanya, Habermas masih cukup demokratis namun dalam buku keduanya kok dia masuk kesini. Ia terpukau oleh para pendahulunya. Nah setelah ini ia masuk dalam analisa bahasa, teori ekonomi dan juga hukum. Maka dari situ dia berada di jalan yang cukup simpatik. Disitu dia mengintegrasikan dari cara berpikir. Mungkin saja di dalam masyarakat ada yang disebut sakit. Tapi boleh ko berkomunikasi asal mau berkomunikasi. Kaum fundamentalis di dalam masyarakat dengan mengatakan bahwa inilah yang paling benar.
Jadi teori kritis tadi memberi tahu kita, bahwa teori kritis itu sangat kompleks. Tetapi supaya kita tidak dipusingkan oleh hal itu. Ada tiga kasus di sini, kasus pertama sangat terkenal yakni kasus Pavlov dengan anjingnya yang dibuat lapar kemudian dimasukan di dalam kotak., dipancing dengan makanan maka keluar air liur dari mulutnya dan dimediasi dengan lonceng dan ini dilakukan beberapa kali sehingga satu waktu lonceng dibunyikan tanpa makanan dan air liur tetap keluar.
Lalu apakah sebuah riset harus dengan kepentingan atau membiarkan diri diseret dengan kepentingan-kepentingan, tentu saja tidak. Disinilah teori kritis berhubungan. Epistemologi klasik tradisional, yang disebut tradisional adalah positivisme, itu adalah pengetahuan yang dipeoleh secara kontemplatif, memandang, memotret kenyataan maka teori kebenaran yang ada di dalamnya adalah teori kebenaran sebagai korespondensi bahkan juga sebagai koherensi. Sedangkan teori kritis mempunyai epistemologi yang lain. Dia mengatakan kita tidak bisa mengetahui sesuatu kalau tidak menyadari kepentingan kita.


BAB IV

PENUTUP

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi), pengetahuan tesebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu berkaitan dengan aksiologi dan seterusnya.
Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan menegnai dunian empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Dari uraian tersebut dapat di simpulkan bahwa epistemologi pada hakekatnya adalah membahas tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Selain itu, Epistemologi bias disebut pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA

 Editoni, Agus. 2009. Epistemologi (sejarah, ruang lingkup, dan pengertian, (Online) (http://fostimpala.heavenforum.com/kajian-aktual-f16/epistemologi-sejarahruang-lingkupdan-pengertian-t22.htm, diakses 09 April 2010)
 Maulidiansyah, Roli. 2009. Epistemologi Teori Kritis, (Online) http://www.blogger.com/profile/03249547895308622683noreply@blogger.com, diakses 09 April 2010)
 Mubasyir Rizal, Misnal Munir. 2008. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
 Muslih, Muhammad. 2008. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Belukar.
 Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT. Pancaraninta Indah Graha.

School of Linguistics

1. The definition and distinction between Langue and Parole.

Definition: Langue is the whole system of language that precedes and makes speech possible. A sign is a basic unit of langue.
Parole is the concrete use of the language, the actual utterances. It is an external manifestation of langue. It is the usage of the system, but not the system.
Distinction: According to Saussure, the distinction between Lengue and Parole are Parole is the realm of the individual moments of language use, of particular 'utterances' or 'messages,' whether spoken or written, langue is the system or code which allows the realization of the individual m essages."

2. The definition and distinction between Competence and Performance.

Definition: Competence is the standard of the knowledge, skills, attitudes and judgement to practise within the scope to a standard acceptable to reasonable peers and to the community.
Performance is a practice of practising to a standard acceptable to reasonable peers and to the community.
Distinction: The distinctions between both of them are a 'competence,' is an idealized capacity, while performance is the production of actual utterances,

3. Based on the Chomsky’s statement, he describes that 'competence' as an idealized capacity that is located as a psychological or mental property or function and ‘performance’ as the production of actual utterances. In short, competence involves “knowing” the language and performance involves “doing” something with the language. The difficulty with this construct is that it is very difficult to assess competence without assessing performance.

Only Hope Partner to be the First Winner




Ika Ayu Prispita Sari is the only one student from State Islamic University Maulana Malik Ibrahim Malang who has been successful achieved a champion in the event of language ambassador for East Java in 2011 ago.

Furnishing the best for the faculty was the major purpose of the candidate's language ambassadors of UIN Maliki Malang. This was what they think during their way to go to the competition which was attended by 48 couples.

The candidates consisting of four people had succeeded to follow the selection carried out by the Faculty of Humanities and Culture of the previous month. Four of them had succeeded to beat 50 other students. The selection (13/8), chaired by one of the lecturer of Humanities and Culture faculty, Mr. Miftahul Huda, M. Hum was comprised of several tests, especially about the culture and Indonesian languages. It was because according to the teacher of speaking, the main material for the language ambassadors at that time was about Indonesian culture and its language.

Once they were accepted as the candidates of language ambassador from the faculty of language Humanities and Culture, the four of them consisting of two males and two females, each of which was Irham (7th semester), Ika Prispitasari Ayu (7th semester), Fendi Yugo Sarjono (5th semester), and Annadifatul Churry Illiyin (5th semester) made preparations to confront language ambassador selection held in the Hall of Languages Surabaya (14/9).

One month passed, after they thought it was enough for practice, on the early morning at 06.30 am, they went from the campus of UIN Maliki Malang and finally arrived at 08.30 am. In the City of Hero, the candidate that consisted of two pairs, Ana with Yugo, Irham with Ika immediately followed the test provided by the committee. The first test was UKBI (Ujian Kemampuan Bahasa Indonesia). The written tests that were held at 09.30 am were like TOEFL. However, the difference was this test simply used Indonesia language.

"We thought the written test given was in English and Indonesian culture, but all the tests were presented turned out to be Indonesia language and also the culture," Ika said when met during the interview.

Finally, the test ended at 14.00 pm was announced by the committee. The result, a girl who has a hobby of jogging was entitled to get a chance to continue to the next round by beating 14 other pairs of candidates. "Actually I hoped the juniors can be the finalist. However, Alhamdulillah, there was still representative of our campus," said the student from English Department.

For the second stage test was interview. Ten couples who have successfully qualified to face the three judges who would test them. The first jury has tested the knowledge of Indonesian language. Furthermore, for next judge provided the exam of insight on Indonesian language, then the last jury tested the foreign language skills of the participants. In this case, the student was born in 21st of March 1987 chose English as her language. "At the time of testing, we were not asked about 5W +1 H, but here we had to talk about Indonesian language, then the jury directly assessed by analyzing EYD (Spelling Enhanced)," said the student born in Batu, Malang.

A long time passed, the clock was showing at 17.00 pm, ten pairs of participants who have been through the interview had been preparing for the final test, that was presenting their knowledge about Indonesian language. Each participant had to pick up a shuffle paper then presented it in front of the jury. Ika who was in the fifth rank hoped to be a champion because she did not want to disappoint her institution which had believed in him. "If my God chose me to be a champion, I did not want to be the first winner, but I prefer to be the runner up," said the student who become a tutor at the British International, Malang

Loosing to the time had showed at 20.00 pm and all candidates had completed their final test. Five minutes later, the committee was preparing to announce the winners. As a result, this merry-faced girl was surprised when her name was mentioned as the runner up. Ika succeeded to be the runner-up in pairs with students from the University of Malang (UM), while the winner was won by students from UM and UNEJ.. "Alhamdulillah, my God gave the best thing for me, might be a runner up was a gift for me, because I did not expect to be the first," she recalled.

The reason why the 24-year-old girl did not want to be the first winner was because the winner would be quarantined for two weeks in Jakarta for the preparation of national language ambassadors. "I had been in the last semester and had to prepare for my final examination. However, despite being a runner-up, I also had to be ready when they need me," Ika said.

Ika’s win achieved her success did not escape from the support of the people around him, she admitted that a lot of people who support her when she was elected as the candidates of language ambassador in East Java. "In addition the support was from my friends, and my parents also prayed for my success," she said.

According to Ika, being a language ambassador would be nothing if not followed by other students. As a good example, Ika had a great hope that her achieved can be forwarded by the juniors. "I dedicate this success to my parents who are always with me, for my faculty, as well as to all my friends," said the student who likes to teach. (rif)

DEIXIS

Reflection from Pragmatics (George Yule)

Deixis is a technical terms for one of the most basic things we do with utterances or pointing via language, it is clearly a form of referring that is tied to the speakers’ context. A language form used to accomplish it is called deictic expression or indexicals. There are many kinds of deixis, first is person deixis, to indicate people, spatial deixis for location, and temporal deixis for time.
a. Person deixis
Person deixis clearly operates on a basic three parts division, exemplified by the pronouns for first person (I), second person (you), an third person (she, he, it). These kinds of expressions are in every language in the world; furthermore they also become a mark of relative social status. For example when the addressee with the higher status talks to the addressee with the lower status, she or he will use language with the relative social status. This kind of expression is usually called honorific. For the discussions which talk about this circumstances is called as social deixis.
b. Spatial deixis
On the explanation in spatial deixis, contemporary English makes use of only two adverbs for the basic distinction; they are near speaker and away from speaker. In English, the near speaker or proximal terms is typically interpreted in terms of speakers’ location, for example ‘here’. For the away from speaker or distal terms can simply indicate ‘away from speaker,’ for example ‘there.’ Besides, some verbs of motion, such us ‘come’ and ‘go’ retain a deitic sense when they are used to mark movement toward the speaker (Come to bed!) or away from the speaker (Go to bed!).
c. Temporal deixis
As same as spatial deixis, temporal deixis also has two distinctions, the first is proximal terms or deictic center which is generally understood as referring to same point or period in time that has the time of the speakers’ utterance at its center., for the example is ‘now’. For the next is distal terms which can be used to distinguish between near addressee and away from both speaker and addressee, for example is ‘then’. Besides, both of them also have differences in the time signal. The proximal form ‘now’ as indicating both the time coinciding with the speakers’ utterance and the time of the speakers’ voice being heard. In contrast, the distal expression ‘then’ applies to both past and future time relative to the speakers’ present time.
d. Deixis and Grmmar
The relation between deixis and grammar can all be seen at work in one of the most common structural distinctions made in English grammar, that is between direct and indirect speech. As already described, the deictic expressions for person (you), place (here), and time (now) can all be interpreted within the sam context as the speaker who utters.