Rabu, 29 Februari 2012

Sociolinguistics

1. Based on Ronald Wardhaugh’s book, there are four varieties of possible relationship between language and society. They are,
a. Social structure may either influence or determine linguistic structure and/or behavior.
b. Linguistic structure and/or behavior may either influence or determine social structure
c. Language and society may influence each other (bi-directional)
d. There is no relationship at all between linguistic structure and social structure and that each is independent of the other.

2. A word ‘Rambut’ in Madura is commonly different from the standard in Indonesia language or another place.

3. Comparison the word ‘Rambut’
Wikipedia & KBBI: the word ‘Rambut’ can be used for everyone.
E.g. - bapak ingin mencukur rambutnya
- adikku mempunyai rambut panjang
In this expression, the word ‘Rambut’ is commonly used for every body. The use of ‘Rambut’ is used for everybody.

Madura: the word ‘Rambut’ is only used for the older person not for the younger person
E.g. - eppa’ terro nyokorrah rambut deh (rambut = rambut)
- tang ale’ andhi’ obu’ begus. (obu’ = rambut)
In this expression, the word ‘Rambut’ is commonly used for the person who is older than us or someone that we respect. At the same time as obu’ is commonly used for person who is younger than us.

4. The definition of Sociolinguistics from four authors
a. Gumperz, 1971. Sociolinguistics is an attempt to find correlations between social structure and linguistic structure and to observe any changes that occur.
b. Hudson, 1980. Sociolinguistics is the study of language in relation to society and it will study society in order to find out as much as we can about what kind of thing language is.
c. Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, 2010. Sociolinguistics (often called a functional linguistics, and a cross disciplinary study) of which terms was first coined in 1950’s to try to bring together the perspectives of linguists and sociologists to bear on issues concerning the place of language in society, and to address the social contexts of linguistic diversity.
d. Spolsky, 1998. Sociolinguistics is the field that studies the relationship between language and society, between the uses of language and the social structures in which the users of language live. It is the field of study that assumes that human society is made up of many related patters and behaviours, some of which are linguistics.

ISLAMISASI ILMU

PENDAHULUAN

A. Definisi Konsep

Islamisasi ilmu pengetahuan bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis. Dari segi teoritis pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan. Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan, tujuan sains modern yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami (terikat nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.

Dari penjalasan di atas Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu mencantumkan Islamnya dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam, metalurgi Islam, kimia Islam dan sebagainya. Selain bid’ah secara syari’at, epistemologinya pun tidak mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu tertentu yang menunjukkan kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam. DR. Imaduddin Khalil bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik Keilmuan Islam.

B. Analisis Masalah
1. Apa Peran Penting Paradigma Ilmu?
2. Bagaimana Sejarah Islamisasi Ilmu?
3. Bagaimana Modelisasi Ilmu?

PEMBAHASAN
ISLAMISASI ILMU
A. Sejarah dan Proses Perkembangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kata “Islamisasi” dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhajnya oleh Allah SWT melalui wahyu. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan dalam pembentukan mental.
Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan yaitu, hubungan antara “Kitab Wahyu” Alquran dan As-Sunnah dengan “Kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Kemudian akan menjadi ijma' (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, Islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan.
Dalam konteks modern, istilah "Islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syekh Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu.
Sesungguhnya, secara substansial proses Islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengIslaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia. PengIslaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu.
Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti Al-Ghazali, Fakhruddin Al-Razi, Sayfuddin Al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu, Islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah Islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun 70-an.
Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari pengaruh sekularisme).
Gagasan Al-Atas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of Knowledge," dalam rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah." Dia mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri.
Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilai-nilai Islam.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses Islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan Islamisasi ilmu suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular.
B. Peran Penting Paradigma Ilmu
Paradigma adalah kumpulan prinsip prinsip dasar yang diakui bersama untuk menyatukan derap langkah pelaksanaan ilmu tersebut dalam praktek.
Dalam Islam, Ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Enstein mengatakan bahwa “Science without Religion is blind, and Religion without science is lame,” ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama-sama berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Al-qur’an merupakan sumber dan rujukan utama ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama. Memahami setiap misi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah memahami prinsip-prinsip Al-quran.
Dalam menatap era globalisasi, ada beberapa model Islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi Islam, dan model neo-modernisme.
Purifikasi yaitu pembersihan atau pensucian. Dalam arti, Islamisasi pengetahuan berusaha menyelenggarakan pengkudusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam. Model ini berasumsi bahwa dapat dilihat dari dimensi normatif-teologis. Doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada umatnya untuk memasuki Islam secara khaffah sebagai lawan dari ber-Islam secara parsial.
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunatullah. Sunatullah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam. Sehingga untuk menjadi modern, umat Islam harus memahami lebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam, yang pada gilirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Karena itu, modern berarti ilmiah dan rasional.

Untuk sampai pada pemahaman tersebut diperlukan proses secara bertahap. Jadi, menjadi modern berarti progresif dan dinamis. Dari sini, makna Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh modernisasi Islam adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progresif, dan terus melakukan perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Model modernisasi Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam dimasa kini, yang disebabkan oleh kepicikan berfikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya. Sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengatahuan agama Islam tertinggal jauh dibelakang non-muslim. Karena itu, model modernisasi Islam ini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial dan perkembangan iptek, serta melakukan liberalisasi penanganan yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.
Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-quran dan sunnah dengan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek. Adapun jargon yang sering dikumandangkan adalah “memelihara kebaikan di masa lalu dan mengambil kebaikan yang baru”.
Dari pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Sehingga umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalan dari umat lain, khususnya Barat.
Maraknya kajian dan integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini dengan center didengungkan oleh kalangan intelektual muslim antara lain Naquib Al Attas dan Ismail Raji’ Al Faruqi, tidak lepas dari kesadaran berIslam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan iptek. Ia misalnya berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi ilmu sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-9 meskipun mengalami pasang-surut. Pada awal abad ke-19, Ahmad Khan dan Muhammad Abduh (awal abad ke-20) di Mesir, meski sejak awal menyadari bahaya dan ancaman peradaban Barat, tetapi dalam usaha reformasi pendidikan dan pemikiran Islam berupaya memadukan sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan Barat dengan jalan mencangkokan kedua sistem yang mengandung landasan nilai berbeda, sehingga justru menciptakan dikotomi-dikotomi, baik dalam sistem pendidikan Islam maupun pengetahuan.
Dikotomi keilmuan merupakan salah satu penyebab dari kemunduran suatu bangsa, masa ini dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Kondisi ini juga merupakan imbas dari kelesuan bidang politik dan budaya. Umat Islam saat ini cenderung bernostalgia dengan masa kejayaannya di abad pertengahan, sehingga lupa dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
Penyebab lain terjadinya dikotomi keilmuan dikarenakan adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam. Negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Karena itu, buadya barat mendominasi budaya setempat yang telah dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu umum telah menggantikan ilmu-ilmu Islam.
C. Model Islamisasi Ilmu
Bangunan intelektual yang muncul pada peradaban tertentu, biasanya memiliki spektrum yang luas dan tidak bisa dibaca sebagai sesuatu yang tunggal dan serba seragam. Demikian halnya dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an.
Pada tahap perekembangan mutakhirnya, model Islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya. Terlebih pula jika melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari pendekatan dan konsepsi dasar tersebut.
Namun ada beberapa konsep dasar yang menjadi titik persamaan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai sarjana Muslim. Misalnya, jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan: Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Bagi Al-Atas misalnya, Islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya.
Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keIslaman, sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya, menurut Al-Attas, sukses tidaknya pengembangan Islamisasi ilmu tergantung pada posisi manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi).
Al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi inteletual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan (inter-related characteristics). Kelima prinsip itu adalah:


1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
2. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
3. Membenarkan aspek temporal untuk yang memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
4. Pembelaan terhadap doktrin humanisme.
5. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spritual, atau transedental, atau kehiudpan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama atau tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia.
Sementara menurut Ismail Al Faruqi, model Islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya.
Dalam deskripsi yang lebih jelas, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini, maka setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.

Kemudian Al Faruqi menggagaskan sebuah rencana kerja dengan lima langkah:
1. Penguasaan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern.
2. Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam.
3. Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu pengetahuan modern.
4. Mencari sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
5. Memberikan arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan kehendak Ilahiyah. Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna mempercepat Islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual.
Di samping beberapa kesamaan pola dasar Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana dapat dilihat dari paparan di atas, agaknya ada segaris perbedaan di antara Al-Attas dan Al-Faruqi. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda.
Sementara Al-Attas disamping pengaruh sufisme yang cukup kuat, antara lain dengan gagasan digunakannya takwil dalam kerangka Islamisasi ilmu pengetahuannya lebih menekankan pada dikedepankannya keaslian (originality) yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan Al-Attas, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan barat modern, diyakini dengan merujuk pada khazanahnya sendiri umat Islam akan mampu menciptakan kebangkitan peradaban.

PENUTUP
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada intinya bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam.
Di samping itu, Islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat secular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu diteruskan oleh umat Islam kontemporer dari generasi ke generasi, guna menjawab krisis epistimologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tetapi juga budaya dan peradaban Barat. UIN Malang merupakan salah satu universitas yang bertanggung jawab dalam mensukseskan mega proyek ini, agar cita-cita Islam sebagai rahmatan lil'alamin dapat benar-benar tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
• http://www.acehinstitute.org/opini_husni_islamisasi_ilmu_kontemporer.htm
• http://nasirsalo.blogspot.com/2008/04/tentang-islamisasi-ilmu-pengetahuan.html
• http://ululalbab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4:islamisasi-ilmu-sejarah-dasar-pola-dan-strategi&catid=2:materi-kuliah&Itemid=18
• http://indramunawar.blogspot.com/2009/03/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html

TRANSFORMASI SOSIAL

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan sebesar apapun perubahan itu direncanakan, atau yang datangnya secara tiba-tiba, perubahan itu tetap mengarah kepada dua hal, yaitu kemajuan dan sekaligus kemunduran. Maju-mundurnya sebuah masyarakat menunjukkan bahwa perubahan memang tak pernah berhenti.
Sementara itu, transformasi sosial menghendaki perubahan yang terjadi di masyarakat dan selalu mengarah kepada kemajuan. Masyarakat kemudian menyadari bahwa waktu tidak bisa diputar sehingga tidak akan berulang kembali. Kemajuan ini juga mensyaratkan masyarakat mampu untuk selalu menyesuaikan kembali keadaan jika perubahan yang dilakukan mengalami krisis yang serius.
B. Rumusan Masalah
a. Definisi Konsep
Tranformasi Sosial menjadi pendekatan penataan ruang yang baru di era reformasi dan otonomi luas saat ini. Dalam pendekatan tersebut, terjadi pergeseran pola pikir pendekatan penataan ruang. Semula masyarakat dipandang sebagai obyek peraturan dan homogen, diubah menjadi masyarakat sebagai subyek peraturan dengan keanekaragamn perilaku.
Tranformasi Sosial merupakan pendekatan perencanaan dimana masyarakat menentukan nasibnya sendiri (bottom up planning). Pendekatan ini akan menuntut peranan Pemerintah bersama dengan masyarakat, untuk mengembangkan visi bersama dalam merumuskan wajah ruang masa depan.
Saat ini permasalahan penataan ruang yang sering terjadi adalah ketidak pedulian masyarakat (publik) dalam penyelenggaraan penataan ruang. Adanya sikap acuh dan kurang memahami esensi penataan ruang itu sendiri. Hal ini disebabkan karena kurangnya pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.
b. Analisis Masalah
1. Bagaimana Eksistensi Transformai Sosial dalam masyarakat?
2. Apa saja penyebab Transformasi Sosial dan bagaimana cara untuk mengatasinya?

PEMBAHASAN
TRANSFORMASI SOSIAL

1. Eksistensi Transformasi Sosial dalam masyarakat
Definisi lain dari transformasi sosial adalah perubahan sosial yang berarti, segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990).
Transformasi sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat misalnya, perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin (1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
1.1 Pengertian Transformasi Sosial
Ada beberapa pengertian tentang tranformasi sosial yaitu,
a) Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang bersifat mendasar dan mengubah pola-pola hubungan dalam masyarakat .
b) Perubahan fundamental dalam pandangan terhadap realitas sosial (kehidupan sosial), yaitu transformasi dari tahap pemikian evolusi sosial menuju pada perubahan fundamental dalam pemikiran yang menghasilkan perubahan kehidupan nyata.
c) Perubahan Fundamental dalam masyarakat, yaitu mengarah pada pencarian penjelasan tentang sifat dasar yang sistematis dari masalah sosial dan penemuan akar penyebab untuk menciptakan:
a. Transformasi kelembagaan : sosial, budaya, teknologi, dan lingkungan
b. Keseimbangan kekuatan : politik, ekonomi dan komunikasi
c. Kesadaran kritis terhadap dunia sosial.
Selain itu para ilmuan juga mendefinisikan tentang Transformasi Sosial, yaitu:
a. Menurut Gillin
Suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik yang timbul karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk idiologi maupun karena adanya penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut.
b. Menurut Mc. Iver
Perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan dalam hubungan sosial tersebut
c. Menurut Selo Sumardjan
Perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan pada suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat.

Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang bersifat mendasar dan mengubah pola-pola hubungan dalam masyarakat. Hukum responsif menempatkan diri dekat dengan masyarakat, dan berupaya mewujudkan tujuan bersama, bukan tujuan negara.
Transformasi sosial hanya terjadi jika perancangan peraturan bertujuan mengubah institusi sosial. Institusi adalah perilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara berulang-ulang atau terus menerus. Ketika ada perilaku yang bermasalah, maka peraturan itu dibuat untuk mengatasi perilaku yang bermasalah tersebut.
Untuk merancang peraturan yang dapat mengatasi perilaku bermasalah tersebut, digunakan metode perancangan peraturan yang disebut Metode Pemecahan Masalah (MPM). MPM selalu mensyaratkan analisis sosial dalam merancang sebuah peraturan. Untuk menemukan penyebab sebuah perilaku bermasalah seorang perancang mengajukan pertanyaan penting: mengapa seseorang berperilaku tertentu dihadapan hokum. Jadi tidak langsung mengatur mengenai sanksi terhadap suatu perilaku bermasalah .

1.2 Transformasi Sosial dalam Arti Progress dan Regress
a. Perubahan dalam arti Progress
Adalah perubahan yang membawa kemajuan bagi masyarakat, dalam arti perubahan tersebut membawa keuntungan dan kemudahan bagi kehidupan masyarakat.
b. Perubahan dalam arti Regress
Adalah perubahan yang membawa pengaruh kurang menguntungkan bagi masyarakat pada bidang-bidang kehidupan tertentu.

1.3 Macam/Jenis/Bentuk Transformasi Sosial
A. Berdasarkan Pengaruhnya
a. Perubahan Kecil,
Yaitu perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang kurang berarti bagi masyarakat. Contoh: perubahan akibat mode pakaian.
b. Perubahan Besar,
Yaitu perubahan yang membawa pengaruh besar bagi masyarakat, karena akibat perubahan tersebut berpengaruh pada beberapa lembaga kemasyarakatan (pranata sosial). Contoh: perubahan akibat industrialisasi.
B. Berdasarkan Perencanaannya
a. Perubahan yang Direncanakan/Dikehendaki
Yaitu perubahan yang telah direncanakan lebih dulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan disebut “Agent of Change” yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga kemasyarakatan (pranata sosial).
b. Perubahan yang Tidak Direncanakan/Tidak Dikehendaki
Yaitu perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibatsosial yang tidak diharapkan masyarakat.
C. Berdasarkan Waktunya
a. Perubahan Cepat (Revolusi),
Yaitu perubahan yang berlangsung engan cepat dan menyangkut sendi-sendi pokok/dasar-dasar kehidupan masyarakat (lembaga kemasyarakatan).
b. Perubahan Lambat (Evolusi),
Yaitu perubahan yang memerlukan waktu lama dan umumnya terdiri dari rentetan/rangkaian perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat.

2. Sebab-sebab terjadinya transformasi sosial dan cara mengatasinya
2.1 Faktor dari dalam Masyarakat
a. Bertambah atau Berkurangnya Penduduk
b. Pertentangan (Conflict) dalam Masyarakat
c. Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi dalam suatu Masyarakat
d. Penemuan Baru
Ada beberapa hal yang mempengaruhi perilaku seseorang, sebagian terletak di dalam individu sendiri yang disebut faktor intern dan sebagian terletak diluar dirinya yang disebut faktor ekstern, yaitu faktor lingkungan. Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya agar tidak menjadi lingkungan yang kurang dengan rasa sosial.
Lingkungan sederhana hanya memiliki sedikit faktor lingkungan, sedangkan lingkungan kompleks mempunyai banyak faktor lingkungan. Terjadinya sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan tersebut diharapkan dan direncanakan. Terdapat faktor yang mendorong sehingga mendukung budaya, lebih-lebih lagi dalam masyarakat yang kompleks dan mengalami perubahan yang pesat. Faktor perubahan sosial eksternal yang terjadi dengan cepat dan tidak diikuti dengan perubahan perilaku, dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, nanti pada gilirannya akan menjadi hambatan .
Transformasi sosial yang menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kerangka implementatif utama dari proyek modernisasi, dan membawa dampak pada berkembangnya masyarakat menjadi semakin kompleks dengan berbagai permasalahan yang ada. Contohnya para pedagang kaki lima di perkotaan yang mengalami perubahan peran sejalan dengan perubahan pengetahuan yang dimiliki.
Kenyataannya transformasi sosial menunjukkan bahwa keduanya dapat terjadi secara bersamaan dan tidak sendiri-sendiri. Melalui pendekatan strukturasi Giddens dipahami bahwa transformasi sosial sektor informal di perkotaan sebagai fenomena struktural, yakni sebagai implikasi perubahan yang dilakukan dengan fenomena individual, dan kehendak otonom agen yang tidak bisa dipisahkan.
Struktur sosial perkotaan selain membatasi individu pedagang kaki lima dalam menjalankan usahanya, juga memberikan kesempatan bagi pedagang kaki lima untuk berkreasi mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga terjadilah perubahan yang terus menerus dalam ruang dan waktu atau perubahan yang kemudian disebut transformasi sosial sektor informal di perkotaan.
Terjadinya transformasi sosial dalam sektor informal khususnya pedagang kaki lima pada arus individu maupun kelompok, mengakibatkan perubahan yang mendasar dan sekaligus gradual dalam sistem sosial sektor informal pedagang kaki lima, bahwa pada pelaku perubahan yang terlibat atau subjek pada transformasi sektor informal pedagang kaki lima, dan berlangsung perubahan secara kompleksitas dalam permasalahan ekonomi, seperti pertumbuhan pendapatan, dan segi-segi sosial, seperti posisi dan status sosial pelaku dalam sistem sosial, bahwa perubahan atau transformasi sosial pada sektor pedagang kaki lima terjadi secara unik dalam sebuah kontinum dalam arti ganda yakni pada satu sisi mengalami perubahan atau transformasi per dan inter karakteristik, baik dengan perluasan maupun pengambilalihan. Pada sisi lainnya meninggalkan atau menguatkan karakteristik perubahan itu sendiri atau pemapanan .

2.2 Faktor dari Luar Masyarakat
a. Lingkungan Alam Fisik di Sekitar Manusia
b. Peperangan
c. Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain
d. Krisis kemanusiaan global
Krisis kemanusiaan global merupakan dampak nyata dari tranformasi sosial, hal ini dapat menyebabkan dampak-dampak sebagai berikut:
 Masalah ekonomi, krisis lingkungan, pengangguran, rasialisme, konflik dan perang, serta berbagai bentuk krisis lainnya.
 Krisis global lebih disebabkan oleh tingkat konsumsi material yang berlebihan dan ambisi untuk akumulasi kapital yang tanpa batas dalam proses industrialisasi global.
 Telah menghasilkan situasi tidak memadahinya support sistem kehidupan bagi kebanyakan orang dan menciptakan pemiskinan yang langgeng dan sistematis bagi negara-negara non industri.

2.3 Faktor-faktor Pendorong Proses Perubahan Sosial
a. Kontak dengan kebudayaan lain melalui proses difusi, yaitu proses penyebaran unsur- unsur kebudayaan dari individu/kelompok yang satu ke individu/kelompok yang lain.
b. Sistem pendidikan formal yang maju.
c. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju.
d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
e. Penduduk yang heterogen.
f. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
g. Berorientasi ke masa depan.
h. Adanya “nilai” yang berarti manusia harus selalu berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

2.4 Faktor Penghambat Proses Perubahan Sosial
a. Kurangnya hubungan/kontak dengan masyarakat lain.
b. Adanya perkembangan IPTEK yang terhambat/tertinggal.
c. Sikap-sikap masyarakat yang tradisional.
d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam secara kuat (vested interest).
e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan/goncangan pada integrasi kebudayaan.
f. Prasangka buruk terhadap hal-hal baru/asing atau sikap yang tertutup.
g. Hambatan-hambatan yang bersifat idiologis.
h. Adat atau kebiasaan.
i. Adanya “nilai” yang berarti hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.

2.5 Prinsip Penelitian Transformasi Sosial
Tranformasi yang memiliki misi untuk memfasilitasi proses transformasi sosial pada tingkat individu dan masyarakat dengan pendekatan sosial budaya melalui pendidikan popular sebagai medianya, juga memiliki prinsip-prinsip sebagaimana berikut,
1. Mengadopsi pendekatan holistik: Transformasi sosial concern pada semua aspek kehidupan sosial pada semua level.
2. Interdisciplinarity harus dilandasi kerangka dasar keilmuan yang mengentaskan.
3. Sistem analisis keilmuan harus diintegrasikan dalam kerangka kerja penelitian.
4. Historical analysis harus menjadi bagian dari setiap studi.
5. Comparative analysis antara satu kehidupan sosial dengan yang lain harus dilakukan untuk membangun pemahaman pola hubungan global dan lokal.
6. Pendalaman terus menerus mengenai masyarakat dan budayanya.
7. Metode-metode participatory harus diintegrasikan dalam proses studi terutama pada kelompok-kelompok lemah, miskin, dan minoritas.
8. Budaya dan identitas memainkan peran vital didalam analisis respon terhadap globalisasi.
9. Peneliti dan organisasinya masuk dalam jaringan penelitian di semua tingkatan.
10. Peneliti harus mendefinisikan nilai-nilainya, dan ilmu pengetahuannya harus digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial dan untuk mencapai kehidupan yang berkelanjutan.
11. Peneliti harus membuat kerja-kerja mereka mudah diakses oleh masyarakat.

2.6 Gerakan Perubahan Sosial
Transformasi sosial telah dimulai sejak 40 tahun lalu yang mewujud dalam berbagai bentuk gerakan perubahan sosial, yang kini terus meningkat kesadaran untuk mengembangan gerakan-gerakan perubahan sosial, dan Gerakan perubahan sosial memiliki imbas luar biasa dalam negara. Ada bermacam jenis gerakan sosial. Meskipun semua ini diklasifikasikan sebagai jenis gerakan yang berbeda, jenis-jenis gerakan ini bisa tumpang-tindih, dan sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan .

a. Gerakan Protes.
Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian. Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan reformasi dan gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat.
a. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.
b. Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.

b. Gerakan Regresif
Gerakan ini juga disebut juga Gerakan Resistensi. Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.
c. Gerakan Religius
Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.

d. Gerakan Komunal
Kita juga bias menyebutnya sebagai Gerakan Utopia. Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).

e. Gerakan Perpindahan
Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory sosial movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.

f. Gerakan Ekspresif
Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika.

g. Gerakan Kultus Personal
Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius.

f. Beberapa gerakan-gerakan sosial:
 Gerakan perempuan
 Gerakan lingkungan
 Gerakan perdamaian
 Gerakan buruh
 Gerakan spiritual
 Gerakan pembebasan kulit hitam
 Gerakan mahasiswa

PENUTUP
1. Kesimpulan
Transformasi sosial adalah perubahan sosial yang berarti, segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya.. Transformasi sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat misalnya, perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi perilaku seseorang, sebagian terletak di dalam individu sendiri yang disebut faktor intern dan sebagian terletak diluar dirinya yang disebut faktor ekstern, yaitu faktor lingkungan.
Transformasi sosial dapat menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kerangka implementatif utama dari proyek modernisasi, dan membawa dampak pada berkembangnya masyarakat menjadi semakin kompleks dengan berbagai permasalahan yang ada. Contohnya para pedagang kaki lima di perkotaan yang mengalami perubahan peran sejalan dengan perubahan pengetahuan yang dimiliki.
Ada beberapa faktor yang mendorong perubahan sosial, salah satunya adalah, Kontak dengan kebudayaan lain melalui proses difusi, yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu/kelompok yang satu ke individu/kelompok yang lain, sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju, dan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Sedangkan beberapa faktor yang menghambat transformasi sosial adalah kurangnya hubungan/kontak dengan masyarakat lain, adanya perkembangan IPTEK yang terhambat/tertinggal, dan adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam secara kuat (vested interest).

2. Analisis Konsep
Di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Surabaya tidak sulit menemukan segolongan warga yang dikategorikan sebagai pekerja sektor informal. Di sudut-sudut kota mereka mencari rezeki, memanfaatkan perputaran waktu 24 jam. Mereka antara lain pedagang kaki lima, pedagang asongan/keliling, sopir angkutan kota, buruh lepas, penjual jamu gendong, kuli angkut barang, sampai pembantu rumah tangga. Pekerjaan mereka sering dianggap kurang produktif karena hanya sekadar mencari makan, tidak untuk memaksimalkan keuntungan.
Ciri-ciri mereka biasanya, berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil, dan umumnya kaum imigran, sehingga tidak jarang mereka menjadi sasaran penertiban Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena dianggap liar, sumber kemacetan lalu lintas, muasal kriminalitas, dan pengotor keindahan kota. Padahal, pekerja sektor informal ini ada akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Mereka sesungguhnya turut membantu mengurangi pengangguran sekaligus mereduksi kemiskinan karena telah menciptakan lapangan pekerjaan.
Seharusnya pemerintah memberikan izin kepada mereka untuk tetap bekerja sesuai dengan profesi mereka, karena faktanya sejak dahulu hingga sekarang bahkan sampai kapanpun sektor informal tidak akan bisa dihapus atau dihilangkan, sebab itu merupakan pilihan bagi mereka yang menggeluti pekerjaan di sektor informal.
Realitas diatas semakin membuat jarak dan menjadikan pemisah antara yang formal dan informal antara yang legal dan ilegal. Oleh karena itu tepat kiranya jika ada upaya pelembagaan sektor informal sebagai salah satu bentuk pengukuhan terhadap eksistensi pedagang kaki lima dalam pusaran modernitas.
Perlu di ketahui bahwa pedagang kaki lima dalam aktifitasnya telah mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya sekedar mereka beralih profesi melainkan perubahan pola peran, interaksi dan jaringan pedagang kaki lima. Karena perasaan senasib dan sepenanggungan, lebih-lebih bagi mereka yang banyak berasal dari daerah yang sama.
Mereka telah banyak melakukan proses-proses transformasi sosial ekonomi dan budaya terhadap pedagang kaki lima lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Pedagang kaki lima yang dulunya berada pada status pengetahuan yang rendah berubah akibat pengetahuan dan teknologi yang dikuasai menjadi lebih besar. Konsekuensi dari perubahan peran tersebut akan berimbas pada perubahan interaksi yang dilakukan. Interaksi pedagang kaki lima menjadi semakin luas tidak hanya sekedar hubungan ekonomi dalam jual beli tetapi juga pada eksistensi sosial dan politik pedagang kaki lima perkotaan.
Akibat dari perubahan peran dan interaksinya tersebut berubah pula jaringan sosialnya. Jaringan sosial menjadi semakin luas menembus batas-batas hubungan yang tidak sekedar bertahan hidup di perkotaan tetapi dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan.

DAFTAR PUSTAKA

• http://one.indoskripsi.com/node/5906
• http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/perubahan-sosial/
• http://arijuliano.blogspot.com/2008/07/hukum-transformasi-sosial-dan-naskah.html
• http://arijuliano.blogspot.com/2008/07/hukum-transformasi-sosial-dan-naskah.html
• http://www.acehforum.com/search/Faktor-faktor+yang+mempengaruhi+perubahan+sosial+budaya
• http://www.acehforum.com/search/Sebab-Sebab+Perubahan+Sosial+Budaya
• http://siap-bos.blogspot.com/2009/05/model-transformasi-sosial-sektor.html
• Satrio Arismunandar http://netsains.com/2008/03/lebih-jauh-mengenal-gerakan-sosial/